Postingan

Sebuah catatan_-NAM AIR IN641

Gambar
Di ketinggian tiga puluh ribu kaki (sebut saja), seorang lelaki duduk diam di antara denting mesin dan udara tipis yang nyaris tak bergerak. Dari jendela kecil pesawat, dunia tampak kecil dan tak banyak keributan; bak paradoks dalam sebuah perjalanan. Ia telah lama hidup di bawah bayang-bayang abstrak: menjadi tenang, menjadi teguh, menjadi percaya, menjadi seperti yang diharapkan banyak mata. Tapi semakin keras ia mencoba memenuhinya, semakin ia kehilangan keping-keping dari dirinya sendiri. Ekspektasi bukan lagi sekadar dorongan, melainkan kabut yang menutupi pandangan; membuatnya ragu apakah semua yang sedang ia tapaki  masih   disebut  layak? Dalam kepalanya, tuduhan-tuduhan kecil berkeliaran seperti serangga di cahaya: tak pernah benar-benar menyakitkan, tapi cukup untuk mengusik. Dipaksa menjelaskan apa yang bahkan tidak pernah menjadi bayangan. Entah berapa orang yang percaya; atau sekadar merasa bahwa ada jenis ketakutan yang tak bisa dijelaskan; bukan takut ...

Monolog

Gambar
  Dari kejauhan, sang lelaki menatap sebuah bangku kayu yang bersandar tenang pada pohon lontar di ujung taman. Bangku itu tampak biasa saja; kecil, usang, diam, sepi, dan tak menarik bagi mata yang terburu. Namun pada diamnya, ia menyimpan isyarat yang padat makna: percakapan-percakapan yang tak pernah selesai, canda dan tawa yang pernah bergema, tuntutan yang dibalut lebih halus dalam bentuk sembayang dan luka-luka dari beragam manusia yang pernah ditinggalkan di sana. Bangku kayu itu tidak sesederhana seperti yang ditangkap oleh mata sang lelaki. Ia bukan sekadar tempat duduk atau spot untuk beristirahat; bukan sekadar persinggahan sementara bagi tubuh yang lelah. Ia adalah saksi; (menjadi bekas) tempat segala hadir dan pergi, menyatu dalam keheningan yang tak menuntut . Ia tak goyah, meski terkadang lama tak diduduki. Ia tetap berdiri, seperti pohon lontar di belakangnya, tegak dalam kesendirian, dan seakan bersedia menua dalam keteguhan, jika ia boleh sedikit memaksa ken...

"Querida: surat untuk yang tak pernah dibaca"

Gambar
  “Pasti rasanya sakit ketika kau sadar akulah penyesalanmu yang paling indah, yang datang terlalu tepat ketika lukamu belum benar-benar sembuh, yang kau pegang saat tangan sedang tak ingin menggenggam” Pagi itu adalah khairos, bukan sekadar pagi biasa, tapi waktu di mana dirinya menemukan hening yang paling jujur. Tampak sang lelaki dengan mimpi yang bertumpuk di ujung jari kembali merajut perjalanan suci. Kali ini ia berikhtiar menemukan tempat yang tenang. Bukan lagi untuk bertapa, bukan pula untuk menetap. Ia hanya ingin diam, beberapa saat, di sudut tulisan yang tak menuntut apa-apa. Jemarinya kaku bukan karena lama tak menyusun aksara, tapi karena suara-suara di kepalanya yang tidak pernah benar-benar diam. Hingga ia tiba pada perhentian pertama: “Tak semua yang pergi bisa kembali. Tapi tak semua yang tinggal, benar-benar hadir” Ia menatap kalimat itu lama, seolah ada sebagian dari dirinya yang tertinggal di antara spasi dan tanda titik. Pada bagian lembar kosong, ia ...

Hidup Terlalu banyak Aminnya.

Gambar
Pada suatu hari yang membosankan, sang lelaki merangkai keributan di kepalanya. Tentang banyaknya amin yang bertebaran pada lembaran percakapan manusia hari ini. Ia baru saja kehilangan orang yang paling ia cinta, ya setidaknya dulu sang lelaki pernah berpikir untuk menghabiskan sisa waktu bersamanya. “Benar bahwa kematian hanyalah satu dari sekian banyak hal di bumi yang tidak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Kadang kita berpikir bahwa hidup itu penuh rahmat; penuh berkat tapi di satu sisi kita menyangkal saat berjumpa dengan apa yang dinamakan kehilangan. Kadang kita memberontak saat bersua dengan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Tidak bisa menentukan keputusan untuk memilih atau menolak. Hidup mengalir tanpa permisi, berjalan tanpa meminta izin, bebas tanpa kendali. Dan pada akhirnya pada banyak kesempatan kita hanya bisa berkata -amin”. Sang lelaki menyelesaikan satu paragrafnya. Ia masih harus mengurus kudanya. Kuda yang ia anggap sebagai malaikat yang Tuhan hadiakan u...

Ziara Waktu (part 2)

Gambar
  16:30 Ketakutannya hari ini adalah kepastian; saat semua kebebesan dan misteri seolah tidak diberi tempat. Semua seketika berubah, bukan lagi tentang seberapa kuat kamu bertahan tapi seberapa ikhlas kau melangkah. Lelaki itu memilih menghabiskan sorenya dengan sebatang rokok dan secangkir kopi. Ia berkisah kepada kedua sahabatnya itu, tentang nikmat yang selalu jadi rindu dan rasa takut yang selalu menghantu. Di saat kopi telah tandas, rasanya tinggal mengendap sesal. Sesekali ia menghirup aroma rokok yang perlahan lenyap tanpa menunggu alasan untuk tetap mengepul di udara dan mengamati endapan kopi yang pekat. Ia pun segera  merapikan barang-barangnya dan bergegas untuk pulang pada tempat di mana hati tak lagi merasa asing. "Senja tidak harus dinikmati", bisiknya. 17:50 Di antara bisingnya dunia, doa adalah sunyi yang paling menyenangkan. Memohon di antara sendiri dan keributan, hingga akhirnya kata-kata sekatika tak lagi sanggup dieja. Lelaki itu menyadari, bahwa perjalan...

Lelaki di Sepanjang Kisah

Gambar
Setelah sekian lama menghilang, lelaki itu kembali mengisahkan banyak hal yang ia jumpai selama ia bepergian pada jalan-jalan yang sepi; pada tapak yang tidak banyak dilewati oleh orang-orang normal pada umumnya. Jalan yang  banyak ditumbuhi oleh cemas dan keraguan. Pada beberapa tikungan juga tampak beberapa taruk harap dan angan yang tumbuh bersamaan dengan semak belukar.   Lelaki yang tampak lesuh itu tampak belum menemukan sebagian dari dirinya. Kini tujuannya hanya satu, yakni menuruti sepasang kakinya untuk terus melangkah. Menyusuri lorong yang menjanjikan apa yang baik, apa yang bagus dan apa yang indah. Baginya tidak penting di mana kakinya berlabu, ia hanya mau menikmati tiap keringat yang membasahi tubuhnya. Sebab hari ini keringat menjadi sangat sulit dijumpai, sebab semua orang dapat makan tanpa harus berkeringat. Berbeda dengan situasi beberapa dekade kehidupan yang lalu. Sang lelaki akhirnya sadar bahwa ia terlanjur melibatkan banyak orang dalam perjalannya, p...

HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA

Gambar
Pembacaan Terhadap Roh Objektif dalam Filsafat Roh Friedrich Hegel  dan Relevansinya Terhadap Pembinaan Fratres Keuskupan Weetebula   BAB I   PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang             Penyelidikan kita dimulai dengan memandang manusia sebagai subyek. Manusia pada hakikatnya adalah subyek. Pengertian demikian diimani sebagai suatu konsep yang sulit untuk dibantah. Untuk terangnya, bandingkanlah dengan realitas yang bukan subyek. Batu bukanlah subyek. Sebab pada prinsipnya batu tidak bisa mengambil tempat, tidak mampu menentukan dirinya sendiri. Pohon pun bukan subyek, meskipun sedikit mempunyai kemiripan dengan subyek. Tetapi tetap pada prinsipnya pohon tidak dapat menentukan dirinya; tidak bisa mengambil sikap. Pohon tidak bisa memilih tanah yang lebih subur. Pohon juga tidak dapat berpindah-pindah semaunya. Begitu pula dengan hewan. Kendati pun bisa berpindah-pindah, ke sana dan ke sini, atau bisa menjauhi y...