Lelaki di Sepanjang Kisah

Setelah sekian lama menghilang, lelaki itu kembali mengisahkan banyak hal yang ia jumpai selama ia bepergian pada jalan-jalan yang sepi; pada tapak yang tidak banyak dilewati oleh orang-orang normal pada umumnya. Jalan yang  banyak ditumbuhi oleh cemas dan keraguan. Pada beberapa tikungan juga tampak beberapa taruk harap dan angan yang tumbuh bersamaan dengan semak belukar.  Lelaki yang tampak lesuh itu tampak belum menemukan sebagian dari dirinya. Kini tujuannya hanya satu, yakni menuruti sepasang kakinya untuk terus melangkah. Menyusuri lorong yang menjanjikan apa yang baik, apa yang bagus dan apa yang indah. Baginya tidak penting di mana kakinya berlabu, ia hanya mau menikmati tiap keringat yang membasahi tubuhnya. Sebab hari ini keringat menjadi sangat sulit dijumpai, sebab semua orang dapat makan tanpa harus berkeringat. Berbeda dengan situasi beberapa dekade kehidupan yang lalu.

Sang lelaki akhirnya sadar bahwa ia terlanjur melibatkan banyak orang dalam perjalannya, pikirnya mereka hanya menjadi teman cerita atau sekadar menjadi sepasang telinga untuk menampung banyaknya keluh kesah yang ia jarah dari dalam dirinya sendiri. Hingga lelaki itu tidak sadar bahwa orang-orang tersebut perlahan menjalma menjadi luka yang paling sulit disembuhkan. Luka yang meninggalkan pasan; bahwa tidak semua yang ada di bawah kolong langit bekerja seturut kehendaknya.

“Aku ingin pulang, tetapi tak dapat” bisik lelaki itu.

Tanpa sekata pun, sang gadis merespon dengan senyum; sebuah bahasa tubuh yang tidak akan pernah sanggup dirumuskan dalam bentuk kata atau kalimat. Senyum itu mengisyaratkan suatu tanda  bahwa ada banyak hal yang sedang ia rapikan pada lubuk hatinya yang paling dalam. Memanipulasi banyak keyakinan agar perjalanan yang tengah ditempuh menjadi cerita indah, yang kelak akan dikisahkan kepada anak-anaknya. Bahwa dahulu seorang lelaki pernah mengajak ibu mereka untuk menentang takdir ketidakmungkinan.

Lelaki itu duduk di ujung senja, mengamati bayangannya yang memanjang di tanah. Di sampingnya, sang gadis tetap diam, hanya sesekali menatapnya dari sudut mata, seolah ingin berkata sesuatu tapi urung. Senyumnya masih bertahan, samar, seperti jejak kaki di pasir yang perlahan hilang oleh hembusan angin malam.

Mereka telah merangkai tapak cukup jauh, menjamah lorong-lorong sunyi yang hanya terdengar gema langkah mereka sendiri. Selebihnya adalah beban yang mereka pikul bersama, yakni kesadaran  bahwa jalan ini tidak akan membawa mereka pada tujuan yang sama. Ada persimpangan yang menunggu, entah di mana, yang akan membuat mereka saling melambaikan tangan. Sekadar menuliskan ucapan selamat tinggal pada awan-awan. Pada saat itu semua doa sekatika menjelma menjadi teman perjalanan yang mengantarnya pada tanjung harapan yang sulit dijelaskan bilamana mereka memaksa untuk terus melanjutkan perjalanan.

“Apa yang membuatmu ingin pulang?” tanya sang gadis akhirnya, suaranya lirih seperti desir ombak yang kehilangan deruhnya.

Lelaki itu berucap lembut, “Aku pikir, aku bisa kembali ke tempat yang dulu aku tinggalkan. Tapi entah mengapa, semakin aku berjalan, semakin aku merasa tempat itu tak lagi sama. Atau mungkin aku yang terlalu jauh melangkah?”

Sang gadis tersenyum lagi, kali ini lebih nyata. “Mungkin pulang bukan soal tempat, tetapi tentang menemukan sesuatu yang membuatmu ingin tinggal.” 

Seperti biasa, gadis itu tetap menjadi teka-teki yang tak ingin ia dipecahkan. Separuh perempuan diciptakan untuk itu pikirnya.  Sang lelaki lebih memilih untuk menikmati tiap dekapnya, hangat pada nafas dan kedamaian yang mengalir begitu indah dari sepasang mata saat beradu tatap. Menikmati setiap kebersamaan yang mahal, saat waktu seakan berlalu lebih cepat dari biasanya.

Hingga pada akhirnya mereka kembali melanjutkan langkah. Pura-pura melupakan apa yang sedari tadi mereka percakapkan. Meski berjalan bersama, mereka tahu bahwa suatu saat, akan ada titik di mana jejak mereka tak lagi sejajar. Gadis itu akan menemukan jalannya sendiri, dan lelaki itu akan terus mencari tempat yang bisa ia sebut rumah. 

"Querida ....





Komentar

Postingan populer dari blog ini

AURELIUS

HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA