"Querida: surat untuk yang tak pernah dibaca"
“Pasti rasanya sakit ketika kau sadar akulah penyesalanmu yang paling indah, yang datang terlalu tepat ketika lukamu belum benar-benar sembuh, yang kau pegang saat tangan sedang tak ingin menggenggam”
Pagi itu adalah khairos, bukan
sekadar pagi biasa, tapi waktu di mana dirinya menemukan hening yang paling
jujur. Tampak sang lelaki dengan mimpi yang bertumpuk di ujung jari kembali merajut
perjalanan suci. Kali ini ia berikhtiar menemukan tempat yang tenang. Bukan lagi
untuk bertapa, bukan pula untuk menetap. Ia hanya ingin diam, beberapa saat, di
sudut tulisan yang tak menuntut apa-apa. Jemarinya kaku bukan karena lama tak menyusun aksara, tapi karena suara-suara di kepalanya yang tidak pernah
benar-benar diam.
Hingga ia tiba pada perhentian pertama:
“Tak semua yang pergi bisa kembali.
Tapi tak semua yang tinggal, benar-benar hadir”
Ia menatap kalimat itu lama, seolah
ada sebagian dari dirinya yang tertinggal di antara spasi dan tanda titik. Pada
bagian lembar kosong, ia merasa lebih telanjang daripada saat pertama ia
dilahirkan. Ia pun sadar perjalanannya merangkai tiap kata bukan tentang
tempat, ia hanya butuh ruang untuk pulih. Hingga akhirnya lelaki itu tidak lagi
sibuk mencari arah, ia hanya ingin menulis sampai tak ada kata yang tersisa di
kepala. Pada ikhlas yang ia yakini selama ini, ternyata ada bagian dari dirinya
yang masih ingin didengar oleh dirinya sendiri.
Lalu ia menulis satu kalimat yang
lama disimpannya di dada.
“Aku harus pergi, jika berdamai membuatku
merasa separuh dan bukannya utuh. Ketika banyak yang memilih terbang jauh dan kesaharianmu
hanya melihat aku ketika patah dan tak meratap aku pecah”
Ia menulis bukan untuk dikenang,
bukan pula untuk dibaca. Perjalanan yang tengah ia tempuh hanya untuk
membebaskan dirinya dari pathos tak
kasat mata, dari percakapan yang mengendap tanpa benar-benar tuntas diungkap.
Ia memilih untuk menamainya dengan ‘aman’, ‘sudah’, ‘lanjutkan’, ‘diam’, ‘baiklah’.
Tidak ada yang terlalu dramatik. Semua tulus, sunyi seperti tetes embun yang membasahi
teras kamar saat pagi memanggil langkah tuk bersujud.
“Kenapa kamu terus mencari?”
“Karena di dalam pencarian itulah
aku menemukan diriku, bukan jawabannya”
Lelaki itu akhirnya tiba di tempat
yang ia cari, bukan pada lanskap, bukan pula pada pelukan yang hangat, melainkan
pada bait-bait yang tak sempurna. Ia tak lagi memaksakan rasa pada tiap kata, sebab beberapa hal memang hanya untuk dijalani, bukan dirasakan apalagi dimengerti. Ia memilih berdamai dengan semua suara,
setidaknya untuk pagi ini. Dan disinilah ia berhenti, bukan karena tidak ada
lagi yang ditulis, melainkan karena harus ada ruang yang disisakan bagi mereka
yang akrab dengan ‘menanti’.
Querida_
“…. aman
Komentar