Monolog

 Dari kejauhan, sang lelaki menatap sebuah bangku kayu yang bersandar tenang pada pohon lontar di ujung taman.

Bangku itu tampak biasa saja; kecil, usang, diam, sepi, dan tak menarik bagi mata yang terburu. Namun pada diamnya, ia menyimpan isyarat yang padat makna: percakapan-percakapan yang tak pernah selesai, canda dan tawa yang pernah bergema, tuntutan yang dibalut lebih halus dalam bentuk sembayang dan luka-luka dari beragam manusia yang pernah ditinggalkan di sana.

Bangku kayu itu tidak sesederhana seperti yang ditangkap oleh mata sang lelaki. Ia bukan sekadar tempat duduk atau spot untuk beristirahat; bukan sekadar persinggahan sementara bagi tubuh yang lelah. Ia adalah saksi; (menjadi bekas) tempat segala hadir dan pergi, menyatu dalam keheningan yang tak menuntut.

Ia tak goyah, meski terkadang lama tak diduduki. Ia tetap berdiri, seperti pohon lontar di belakangnya, tegak dalam kesendirian, dan seakan bersedia menua dalam keteguhan, jika ia boleh sedikit memaksa kenyataan.

Ia seperti menjelma menjadi penjaga waktu, menyimpan dan menerjemahkan dengan rapi jejak-jejak perasaan setiap mahkluk yang pernah singgah: mereka yang hadir dengan tulus untuk merayakan perpisahan, maupun mereka yang bertahan hanya karena tak lagi punya cara untuk mengutuk kenyataan bernama perjumpaan.

Ia tak pernah memilih siapa yang layak duduk atau tidak, dan tak pernah bertanya siapa yang datang dan pergi. Panggilannya adalah menerima; tanpa syarat, tanpa tanya, tanpa negosiasi dan tanpa kesempatan untuk memilih.

Dalam keikhlasannya yang tua, ia tahu: yang duduk paling lama tidak selamanya yang paling nyaman, bisa jadi mereka yang paling patah, yang paling ingin dianggap ada (eksis), walau hanya oleh sepotong rating kayu yang tak bisa bicara atau sekadar melambungkan protes terhadap alam yang perlahan-lahan menjauhkannya dari pokok yang dahulu memeluknya.

Pada permukaannya, kulit kayu yang mengelupas bukan karena rusak, tapi menjadi lambang yang hidup, atas jejak usia catatan mistik tentang hidup, yang ditulis musim demi musim dengan sabar oleh tangan-tangan yang hari demi hari berjuang mengakrapkan dirinya dengan waktu.

Dalam keusangannya, ia bersahabat dengan matahari dan gigil hujan. Ia paham benar rasanya ditinggalkan, atau menunggu dalam kesia-siaan. Tapi ia tak pernah mengumpat, tak pernah menagih, tak pernah bertanya, “Mengapa dia tak kembali?”

Ia hanya menunggu dengan diam bersama doa-doanya. Untuk setiap tubuh yang lelah, untuk kata-kata yang terlalu pekat keluar dari mulut, untuk hati yang mencari surga tanpa perlu menjelaskan luka. Bahkan ketika tak seorang pun datang, bangku itu tetap setia, seperti sebuah janji yang tak pernah dibatalkan, meski tak lagi diingat.

Lelaki itu perlahan mendekati bangku kayu yang sedari tadi ia pandang, merebahkan badannya, bukan karena lelah atau beristirahat, tetapi merayakan ‘kehadiran’, setidaknya akan dirinya sendiri. Barangkali, ini menjadi awal yang baik untuk berdamai dan memproklamirkan bahwa ia pun berhak diam dan patah, sebagai bentuk kejujuran terhadap absurditas hidup, di hadapan semesta yang terus berjalan; mangalir dan tidak tinggal tetap. Hingga pada akhirnya, di dalam lamunannya, lalaki itu sadar; bahwa kisah ini sebenarnya bukan tentang bangku kayu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Querida: surat untuk yang tak pernah dibaca"

Lelaki di Sepanjang Kisah