Ziara Waktu (part 2)

 16:30

Ketakutannya hari ini adalah kepastian; saat semua kebebesan dan misteri seolah tidak diberi tempat. Semua seketika berubah, bukan lagi tentang seberapa kuat kamu bertahan tapi seberapa ikhlas kau melangkah. Lelaki itu memilih menghabiskan sorenya dengan sebatang rokok dan secangkir kopi. Ia berkisah kepada kedua sahabatnya itu, tentang nikmat yang selalu jadi rindu dan rasa takut yang selalu menghantu. Di saat kopi telah tandas, rasanya tinggal mengendap sesal. Sesekali ia menghirup aroma rokok yang perlahan lenyap tanpa menunggu alasan untuk tetap mengepul di udara dan mengamati endapan kopi yang pekat. Ia pun segera  merapikan barang-barangnya dan bergegas untuk pulang pada tempat di mana hati tak lagi merasa asing. "Senja tidak harus dinikmati", bisiknya.

17:50

Di antara bisingnya dunia, doa adalah sunyi yang paling menyenangkan. Memohon di antara sendiri dan keributan, hingga akhirnya kata-kata sekatika tak lagi sanggup dieja. Lelaki itu menyadari, bahwa perjalanannya kali ini bukan sekadar menempuh panjang atau pendeknya jarak, tapi menyusun kembali kepingan diri yang sempat hilang. Ia sadar bahwa musuh yang paling berat untuk dihadapinya saat ini adalah ekspektasi banyak orang. Memaksa untuk terus tegar dengan hati yang perlahan pulih menuju tempat yang bernama ikhlas. Ia menerbangkan mimpinya setinggi mungkin agar semua orang dapat melihat bahwa bahagia bukan hanya tentang bagaimana kita menikmatinya tetapi bagaimana kita mengusahakannya.

19:00

Sang lelaki mengajak kekasihnya untuk pergi menjauh dari beberapa rutinitas yang membosankan. Ia percaya bahwa pergi bukan tentang meninggalkan, kadang hanya tentang memberi ruang untuk bertumbuh. Bahwa saat ini dunia seakan begitu kejam, ia kehilangan keramahannya dan mereka harus sama-sama berjuang untuk menjadi rumah bagi orang-orang yang paling mereka cintai. Sepanjang perjalanan mereka mulai belajar dan merumuskan harapan dalam hening yang panjang, karena percakapan tidak selamanya memberi jawaban. Mereka hanya diberi pilihan untuk menikmati semuanya atau menyesalinya. Hingga pada satu titik, keduanya mulai mengerti bahwa tidak semua orang dapat menjadi pendengar yang baik, mereka lupa jikaula pendengar sejati tahu, bahwa diam lebih menyembuhkan dari seribu saran. Bahwa luka dapat disembuhkan bahkan oleh tanpa sepatah kata.

20:20

Seketika malam menjemput, hening pun dipenuhi dengan lantunan “Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan saat kami mau mati”. Lilin yang terjaga dan hati yang mulai tawar di atas meja menghiasi salib kayu yang tampak layu. Sang lelaki hanya dapat menulis beberapa potongan perasaan bersama alunan waktu yang terus berdetak. Pada sebuah sudut harapan akan banyak hal yang mungkin akan dirajut indah oleh pemilik kehidupan. Dari kejahuan sang kekasih tampak tertidur lelap oleh bisingnya hidup, oleh rumitnya kehendak dan kecemasan yang tidak pernah habis keluar dari mulut lelakinya.

 bersambung . . . . 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Querida: surat untuk yang tak pernah dibaca"

Lelaki di Sepanjang Kisah

Monolog