HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA
Pembacaan Terhadap Roh Objektif dalam Filsafat Roh Friedrich Hegel dan Relevansinya Terhadap Pembinaan Fratres Keuskupan Weetebula
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyelidikan kita dimulai
dengan memandang manusia sebagai subyek. Manusia pada hakikatnya adalah subyek. Pengertian demikian diimani
sebagai suatu konsep yang sulit untuk dibantah. Untuk terangnya, bandingkanlah
dengan realitas yang bukan subyek. Batu bukanlah subyek. Sebab pada prinsipnya
batu tidak bisa mengambil tempat, tidak mampu menentukan dirinya sendiri. Pohon
pun bukan subyek, meskipun sedikit mempunyai kemiripan dengan subyek. Tetapi
tetap pada prinsipnya pohon tidak dapat menentukan dirinya; tidak bisa
mengambil sikap. Pohon tidak bisa memilih tanah yang lebih subur. Pohon juga
tidak dapat berpindah-pindah semaunya. Begitu pula dengan hewan. Kendati pun
bisa berpindah-pindah, ke sana dan ke sini, atau bisa menjauhi yang tidak ia
senangi. Terlepas dari ratio, sekiranya
hewan bisa mengambil sikap dan menentukan keberadaannya. Namun toh belum bisa
dikatakan sebagai subyek, sebab hewan tidak bisa berdiri dengan pendirian.
Hewan hanya sampai pada pengertian sebagai bayangan dari subyek.
Manusia hanyalah satu-satunya makhluk yang tampil di
dunia sebagai subyek. Dia berdiri dengan pendirian, berada dengan sikap, serta dengan
pengertian yang utuh terhadap pendirian dan sikapnya tersebut
(Drijarkasa,1969:56). Manusia bisa merumuskan sikapnya, mampu membuat analisa
terhadap sikap dan perbuatannya dan mampu mengubah-ubah pendiriannya. Manusia
mampu melihat realitas di hadapannya sebagai realitas tersendiri yang ada dan
mempengaruhi kehidupannya. Kemampuan mengambil dan merubah sikap ini menunjukkan
adanya kemerdekaan dan pengertian dalam diri manusia. Demikian perihal subyektivitas yang ada
dalam diri manusia yang membedakannya dari ciptaan lain.
Terhadap pokok persoalan yang hendak kami hadirkan dalam
kerangka berpikir akademik ini adalah mencapai apa yang dimaksudkan dengan pengetahuan
ilmiah tentang kebenaran sebagai subyek. Muncul sosok Georg Wilhelm Friedrich
Hegel (1770-1831), sebagai filsuf idealisme Jerman yang menghadirkan gagasan
sebagai bentuk kritik terhadap filsafat Kant (Kritisisme) yang lebih
menonjolkan peranan unsur apriori dalam pengetahuan (Tjhahjadi, 2004: 302). Hegel
mengemukakan gagasan dasar filsafatnya dengan satu perkataannya yang terkenal:
“Apa yang rasional, itulah yang real, dan apa yang real, itulah yang rasional” (Was
vernuenftig ist, das ist wirklich, und was wirklich ist, das ist vernuenftig).
Realitas yang sesungguhnya itu adalah ratio (akal budi) dan segala kegiatan
ratio. Hasil kegiatan ratio itu disebutnya ide. Ratio ini kemudian membantu
kita memahami perihal realitas dalam diri manusia sebagai makhluk individu yang
memiliki kebebasan dan kehendak pribadi.
Lebih terperinci, kami mencoba mengkaji salah satu
pemikiran Hegel dalam konstelasi formasi pendidikan calon imam di lingkungan
(konvikt) Keuskupan Weetebula. Pembacaan terhadap realitas ini bertolak dari
salah satu sentilan dari begitu banyak konsep pemikiran Hegel; sang filsuf yang
pemikirannya dijuluki sebagai puncak idealisme Jerman. Pemikiran yang
dimaksudkan terkait dengan Filsafat Roh;
dan lebih mengerucut pada uraian
mengenai Roh Obyektif. Roh yang mengungkapkan
diri dalam tata tertib untuk mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain.
Sebuah daya yang membantu membaca fenomena yang terjadi antara manusia dengan
lingkungan hidupnya. Pembacaan terhadap konsep
berpikir ini terkait dengan realitas hidup yang acap kali dijumpai dan dialami
di Konvikt Keuskupan Weetebula (KW). Perihal konsep tentang memberi hukuman
sebagai bentuk atau bagian dari proses pembinaan dan sebagai proses
memanusiakan manusia. Lantas bagaimana filsafat Hegel membahasakan hukuman
dalam kaitannya dengan proses pembinaan manusia sebagai subyek atau terkait
dengan proses pembinaan calon imam KW.
Hegel memandang bahwa hukuman yang diterima oleh para
pelanggar hukum bukan sekadar hukuman fisik, tetapi juga tindakan korektif yang
membantu memulihkan keselarasan antara individu dan tatanan hukum. Hukuman
diperlukan untuk memastikan kebebasan sebagai pribadi dan keadilan hidup
bersama dapat terjaga dalam komunitas. Melalui pendekatan roh obyektif , diharapkan muncul konsep berpikir progresif yang
melihat hukum (dibaca hukuman) bukan sebagai bentuk penjegalan terhadap
kesalahan semata tetapi melihat hukum sebagai hak yang harus diterima oleh manusia,
sebagai bentuk penghargaan terhadap kodrat kemanusiaan seseorang sebagai
makhluk subyektif yang memiliki kepribadian yang utuh.
1.2.
Rumusan Masalah
Orientasi yang melatarbelakangi penulisan karya ini adalah
berusaha membaca realitas sederhana dalam keseharian hidup calon imam dalam
kacamata filsafat. Sebab esensi terdalam dari berfilsafat adalah membaca kehidupan.
Untuk itu adapun titik target yang diformulasikan dalam rumusan masalah yang
ingin dicapai melalui karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Siapa Georg
Wilhelm Friedrch Hegel ?
2. Siapakah tokoh-tokoh
dan pemikiran yang mempengaruhinya ?
3. Apa yang
dimaksudkan dengan Roh obyektif dalam Filsafat Roh ?
4. Bagaimana hukuman
sebagai hak manusia dibicarakan dalam konstelasi proses pembinaan fratres
Keuskupan Weetebula ?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup Friedrich Hegel
George
Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770, dari
sebuah keluarga pegawai negeri sipil. Pada usia 18 tahun ia belajar filsafat
dan Teologi di Universitas Tubingen,
bersama Schelling. Keduanya menaruh simpati dan perhatian khusus pada Revolusi
Prancis (Hardiman, 2007, 172). Selama beberapa tahun, Hegel bekerja sebagai
dosen pribadi, tetapi berkat suatu warisan dia mampu kembali melanjutkan studinya
di Jena, yang mana dalam perkembangan selanjutnya ia menjadi seorang dosen
filsafat.
Pada
saat tentara Napoleon menyerbu kota Jena tahun 1806, Hegel melarikan diri ke
Bamberg dengan membawa karyanya yang baru saja diselesaikan, yaitu tentang Phanomenologie des Geistes (Fenomenologi
Roh) di mana dia menjadi rektor Gymnasium. Pada tahun 1807, ia menjadi redaktur
surat kabar kota tersebut, dan kemudian bekerja sebagai kepala SMU. Pada usia
41 tahun, Hegel menikah dengan gadis berumur 20 tahun, Maria von Tucher.
“dengan demikian, secara keseluruhan aku....telah mencapai tujuan akhir hidup
di dunia. Sebab hidup manusia sudah selesai dengan satu jabatan pekerjaan dan
seorang wanita yang dikasihinya”. Mungkin lantaran telah memiliki istri yang
ikut mengurusi hidupnya, maka setelah menikah Hegel menjadi lebih aktif dan
produktif dalam bekerja. Pada masa-masa 1793-1800, dia menghasilkan
tulisan-tulisan teologisnya. Istilh ‘teologi’ Hegel di sini jangan dipahami
lepas dari filsafat, bahkan bagi Hegel filsafat adalah sebuah teologi dalam
artian menyelidiki Yang Absolut (Jegalus,2018:22).
Pada
tahun 1812, ia menulis buku Wissenschaft
der Logik (ilmu Logika). Pada tahun 1816 ia menjabat sebagai profesor di Universitas
Heidelberg dan pada tahun 1818 ia mengajar di universitas Berlin, ibu kota
kerajaan Prusia dan popularitasnya semakin bertambah. Tahun 1817 Hegel diundang
untuk menjadi guru besar di Heidelberg dan satu tahun kemudian di Berlin. Di sini
Hegel sangat populer dan disebut “profesor profesorrum”. Mahasiswa biasa datang
dari mana-mana untuk mendengarkan ajaranya (Hamersma,1984: 39). Pada tahun 1821
ia menulis buku Grundlinien der Philosophie des Richts (garis – garis besar
filsafat hukum) dan meninggal pada tahun 1831 karena sakit kolera (Tjhahjadi, 2004:
316).
2.2 Sistem Hegel
Dalam
sistem filsafat Hegel ada tiga bagian besar yang menjadi pokok kajiannya yakni;
ilmu logika, filsafat alam, dan filsafat roh, yang masing – masing terdiri dari
tiga bagian lagi, dan semua bagian ini sekali lagi terdiri dari tiga bagian (Hamersma,1984:
43)
I. Ilmu
Logika
1. Pengajaran
tentang eksistensi
a. Kualitas
b. Kuantitas
c. Derajat
2. Pengajaran
tentang esensi
a. Esensi
sebagai dasar eksistensi
b. Fenomin
c. Kenyataan
3. Pengajaran
tentang pengertian
a. Pengertian
subjektif
b. Objek
c. Ide
II. Filsafat
alam
1. Ilmu
Pesawat
a. Ruang
dan waktu
b. Materi
dan gerak
c. Ilmu
pesawat mutlak
2. Ilmu
alam
a. Fisika
dan individualitas umum
b. Fisika
individualitas khusus
c. Fisika
individualitas total
3. Organika
a. Alam
geologis
b. Alam
tumbuh – tumbuhan
c. Organisme
binatang – binatang
III. Filsafat
Roh
1. Roh
subjektif
a. Antropologi
b. Fenomenologi
roh
c. Psikologi
2. Roh
obyektif
a. Hukum
b. Moralitas
c. Kesusilaan
3. Roh
mutlak
a. Seni
b. Agama
wahyu
c. Filsafat.
2.3 Tokoh Dan Pemikiran Yang
Mempengaruhi
2.3.1 Immanuel Kant
Ø Das Ding an Sich[1]
dan Bentuk Apriori
Kant
Menerima premis kaum empirisme bahwa seluruh pengetahuan bersumber dari pengalaman
kita tentang realitas atau benda (Ding)
yang berada di luar kita. Akan tetapi pengamatan atas objek itu hanya sebagai
rangsangan, sedangkan benda itu sendiri (hakikatnya) sama sekali tidak dapat
kita ketahui. Rangsangan yang kita peroleh dari tangkapan indrawi terhadap
objek yang ada di luar ditampung dan diolah oleh akal budi kita melalui
bentuk-bentuk apriori[2]. Bentuk-bentuk apriori
mengolah masukan dari luar, sehingga objek itu dapat kita ketahui dan
dimengerti dengan pasti. Dalam pemikiran epistemology Kant, kualitas primer dan
kualitas sekunder (warna, panas, dingin, bau) sesungguhnya tidak ada pada benda
itu sendiri, melainkan berasal dari kita (pengamat), meskipun kualitas sekunder
itu sesuai dengan kekhasan benda-benda itu sendiri. Namun, benda-benda atau
objek yang kita amati dan yang masuk ke dalam kesadaran kita hanyalah
bentuk-bentuk yang telah diberikan oleh perangkat pengetahuan kita (Lubis,
2014: 131).
Ø Fenomena
dan Noumena
Objek-objek
yang terkonstruksi (terbentuk) melalui bentuk-bentuk apriori indrawi dan
kategori rasio dan dimengerti melalui kerangka acuan tiga idea itu (Allah: idea
teologis, jiwa: idea psikologis, dan dunia: idea kosmologis) hanyalah gejala
fenomena yaitu cara objek –objek itu menyatakan atau menampakan diri.
Pengetahuan manusia hanya terbatas pada fenomena (objek-objek) yang tampak
saja. Sedangkan idea-idea itu merupakan noumena atau realitas akal budi murni,
tanpa didasari oleh pengalaman indrawi. Noumena bukan objek-objek melainkan
syarat yang memungkinkan pengetahuan kita tentang objek itu. Fenomena merupakan
asumsi atau pengandaian, semacam implikasi pengetahuan yang terarah pada
objek-objek (Lubis,2016: 135). Pemikiran ini yang kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Hegel dalam uraian terkait dengan pelanggaran hukum.
Ø Prinsip
Otonomi
Prinsip ini
mengatakan bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa “sehingga kehendak akan terwujud
sebagai penentu hukum umum” (GMS, 65).
Jika prinsip “hukum umum” mengatakan bahwa maksim atau tujuan kita hendaknya bisa
diuniversalisasikan dan prinsip hormat terhadap pribadi memerintahkan kita
untuk memperlakukan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka prinsip
otonomi ini menegaskan bahwa yang menghendaki dan menjelaskan semua itu bukan
pihak lain, melainkan kita sendiri. Itulah sebabnya Kant menyebut prinsip ini
sebagai “otonomi kehendak”. Kehendak yang otonom adalah kehendak untuk melakukan
sesuatu berdasarkan hukum yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
2.3.2 Johann G. Fichte
Ø Asas
Dasar Filsafat Asas Murni (das absulute
ich)
Aku murni itu, menurut Fichte,
bukanlah sebuah substansi atau sebuah entitas yang melampaui kesadaran, melainkan
sebuah kegiatan (tathandlung) di
dalam kesadaran. Kegiatan menjadi dasar dari seluruh kesadaran diri. Karena
itu, menurut fichet, aku murni ini tidak bisa di jadikan ‘objek kesadaran’
sebab dialah yang memungkinkan objektivitas itu. Dengan kata lain, aku murni
ini adalah sesuatu, “aku transendental”. Aku transandental ini bukan sebuah
kenyataan mistik yang penuh rahasia, melainkan kenyataan yang bisa kita ketahui
lewat kegiatan refleksi. Aku murni itu, oleh Fiche, pada akhirnya disamakan dengan
perbuatan atau kegiatan itu sendiri (Hardiman, 2007: 163). Pemikiran ini yang
kemudian mempengaruhi penjelasan perihal makhluk subyektivnya perspektif Hegel.
Ø Filsafat
tentang kerja dan tindakan moral
Dalam buku Das System Der Sittrnlahre (Sistem Filsafat Moral, 1798) Fichete mengajarkan bahwa suatu tindakan bersifat
moral apabila tindakan tersebut tidak bergantung kepada “bukan aku” (alam atau dunia),
melainkan didasarkan kepada kemandirian mutlak sang “aku” untuk membebaskan
diri dari segala pengaruh dan kelekatan dengan yang bukan “bukan aku” tadi. Dengan
kata lain, prinsip moralitas dalam pandangan Fichet (sama seperti dalam ajaran
Kant tentang otonomi) terletak dalam keyakinan bahwa sang “aku” atau subjek
wajib menentukan kebenarannya sesuai dengan paham kemandirian yang berlaku
umum, tanpa pengecualian sama sekali.
Fichet kemudian mengajarkan bahwa
kita berkewajiban menghargai diri sendiri sebagai makhluk yang bebas (aspek
individual) namun kita juga berkewajiban agar kebebasan orang lain tidak dikorbankan
(aspek komunal). Oleh krena itu, saya mempunyai kewajiban untuk memelihara tubuh saya ini sebaik-baiknya (individual) agar
dengan demikian bisa melakukan perbuatan baik bagi orang lain (aspek komunal) (Tjhahjadi, 2004:
308). Fichete memandang kerja sebagai ekspresi dari kebebasan seorang individu,
sebab dengannya seseorang menampakan dirinya, membentuk lingkungan sosial dan
menciptakan kondisi bagi kebebasan yang lebih luas.
2.3.3 F.W.J. Schelling
Ø Peranan Refleksi
Menurut Schelling, dikotomi antara subjek dan objek itu
terjadi karena refleksi. Refleksilah yag membedakan sesuatu yang berada di luar
kita dan gambaran-gambaran yang kita tangkap. Refleksi juga memperlakukan
gambaran-gambaran itu sebagai objeknya.
Dengan demikian, refleksi adalah pembedaan antara Roh dan Alam, antara
yang real dan ideal. Jika pangkal ini dihapus, menurut Fichte, Roh dan Alam itu satu, atau dengan
perkataan lain, manusia mengalami kesatuannya dengan alam. Akan tetapi, justru
refleksilah yang membedakan manusia dari hewan yang melulu emosional, atau dari makhluk hidup lain. Pemikiran ini yang
menjadi salah satu landasan bagi Hegel untuk berbicara tentang kesadaran
sebagai makhluk rasional.
2.4 Roh Objektif
Seperti yang terdapat dalam
awal penjelasan, bahwasanya Filsafat Roh merupakan satu dari tiga karya besar
Hegel. Kemudian dalam Filsafat Roh dibagi ke dalam tiga pokok pembahasan yakni pertama Roh Subyektif (yang di dalamnya
berbicara tentang antropologi, fenomenologi roh dan psikologi); kedua Roh objektif (yang berbicara
tentang hukum, moralitas dan Sittlichkeith); dan ketiga Roh mutlak (yang berbicara
tentang seni, agama wahyu, dan filsafat). Lantas sebagai barometer pembahasan,
kami mengkaji lebih dalam terkait dengan Roh
Obyektif yang sekiranya memiliki
relevansi dengan salah satu model pembinaan pada locus yang dimaksudkan.
Roh Objektif mengungkapkan diri dalam tata tertib yang
mengatur relasi manusia yang satu dengan yang lain. Hegel berbicara tentangnya dalam konteks hukum, moralitas dan etika.
Puncak dari proses Roh Objektif itu adalah kebebasan: kebebasan berpikir dan
kebebasan kehendak. Kebebasan berpikir dan kebebasan kehendak manusia sebagai
individu menjadi hak setiap orang, tetapi kenyataan ini dihadapkan dengan
kebebasan dari orang lain. Maka di sana kebebasan berpikir dan berkehendak
individu mendapat pembatasan yang “mengharuskan” individu untuk membangun
kesepakatan dengan orang lain dalam bentuk hukum, pelanggaran dan sanksi
hukum. Hukum, pelanggaran dan sanksi hukum adalah produk dari pengenalan
dan kehendak bersama. Lebih lanjut sanksi dilihat sebagai produk hukum yang
mengejawentahkan substansi etis yang
sadar diri.
2.4.1
Hukum
Bagi
Hegel, hukum adalah pengakuan terhadap kehendak
dan kebebasan individu. Hal ini tampak
jelas, misalnya, dalam suatu hal yang diamini sebagai hak miliknya. Sesuatu
merupakan hak milik seseorang kalau orang tersebut menaruh keinginan atau
kehendak ke atas fenomen tersebut. Dalam hal ini, pengakuan terhadap hak milik
pribadi sebagai hak dalam hukum merupakan pengakuan terhadap kehendak individu
tersebut. Dengan demikian dalam buku Rachtsphilosophoe
(Filsafat Hukum), Hegel menulis bahwa hukum adalah hak ekstensi pertama
yang diambil kebebasannya secara langsung. Kebebasan di sini mempunyai eksistensi dalam bentuk kewajiban hukum untuk
menghormati manusia sebagai individu dan sebagai subyek hukum yang bebas (Tjhahjadi, 2004:
323).
Manusia menjadi tertib
bukan karena hak bersama yang diutamakan daripada hak individual melainkan karena
hak setiap orang dijamin. Hal ini membuat setiap orang merasa bahwa ada
kepastian terhadap haknya. Manusia yakin bahwa hukum akan melindunginya
kalau ia benar dan menghukumnya kalau ia berbuat salah. Maka tentu orang
akan berusaha untuk menaati hukum demi haknya. Sebagai hak milik, hukum menjadi
salah satu entitas terdalam kepribadian setiap manusia. Bila haknya terpenuhi
maka di sana nampak pula penghargaan terhadap kemanusiaanya. Penghargaan
terhadap pribadinya sebagai pribadi atau subjek yang utuh.
Meskipun kebebasan
memperoleh pengakuan dalam hukum, kebebasan tetap tidak bisa berhenti begitu
saja, karena hukum hanya memahami kebebasan secara abstrak. Dalam hidup bersama
sebagai masyarakat tentu akan dijumpai rasa sanksi, sebab hukum belum dijadikan
sebagai bagian dari kehidupannya. Maksud Hegel, pengakuan hukum atas kebebasan
individu bersifat formal dan oleh karena itu kepentingan khusus, keuntungan
saya atau kesejahteraan saya tidak masuk perhitungan, begitu pula tidak ada
yang secara khusus menggerakan kehendak saya, pengertian dan maksud. Hukum
meniadakan semua kekhususan tiap-tiap individu. Oleh karena itu, menurut Hegel,
untuk mencapai kebebasan yang lebih nyata, subjek (manusia) harus memberikan
penegasan pada hukum, dan hal ini dilakukan dengan mengembangkan moralitas.
2.4.2.
Moralitas
Dalam
bidang moral, Hegel menjelaskan Roh
Obyektif itu dalam hubungan dengan kebebasan dan kesejahteraan bersama.
Kebebasan individual yang tampil dalam tindakan bebas dengan niat tertentu
untuk kesejahteraan individual perlu memperhitungkan tindakan bebas orang lain
yang memiliki haknya untuk mengejar kesejahteraan individual. Karena itu,
jembatan antara keduanya adalah kesejahteraan bersama yang menjadi tujuan
perbuatan mereka dalam relasi mereka. Hegel memasukkan pentingnya konsep
kebaikan yang berfungsi untuk menjamin hak masing-masing individu untuk
mengejar kesejahteraan bersama. Bagaimana konkritnya kebaikan itu dipraktekkan,
Hegel menyerahkannya kepada kebebasan subyek dan suara hatinya untuk
menghayatinya demi kesejahteraan bersama.
Jika pada hukum maksud–maksud subyektif
tidak dipertimbangkan (apakah kita menaati hukum karena rasa, atau untuk
mendapat nama baik dari kuasa pemberi hukum, sama sekali tidak ada bedanya),
maka pada moralitas berlaku sebaliknya, yaitu bahwa tindakan hanya berlaku,
sejauh tindakan tersebut ditentukan individu secara internal; jadi, sejauh
tindakan itu menjadi rencana dan maksud individu tersebut. Mengacu pada etika
Kant, Hegel di sini berbicara tentang otonomi moral. Manusia hanya tunduk
terhadap hukum bukan sebagai sesuatu yang asing atau berasal dari luar
(heteronomi), melainkan sebagai sesuatu yang diyakininya sendiri, entah karena
nilainya yang baik atau karena sifatnya yang wajar dan masuk akal.
Prinsip otonomi adalah sudut pandang subyek
dan berkaitan dengan keyakinan batinnya. Adalah hak kehendak subjektif agar apa
yang diharuskan diakuinya sebagai sesuatu yang sah, dan dipahami sebagai yang
baik. Ungkapan pengalaman tersebut adalah suara hati. Orang yang otonom adalah
orang yang bertekad mengikuti suara hati. Atas nama suara hati ia berani
menentang segala hukum dari luar. Berhadapan dengan suara hati, hukum luar akan
kehilangan daya paksanya. Keharusan tindakan karena rasa hormat terhadap suara
hati adalah pelaksanaan dan penentuan diri manusia. Hegel menuliskan: karena
manusia ingin dinilai berdasarkan penentuan dirinya, maka ia adalah individu
yang bebas, meskipun adanya ketentuan lahiriah. Tidak mungkin kita memaksa
masuk ke dalam keyakinan manusia; ia tidak dapat dipaksa, dengan demikian
kehendak moral tidak dapat dimasuki. Nilai manusia tidak dapat ditentukan
berdasarkan tindakan batinnya, sehingga titik tolak moral merupakan kebebasan
yang memahami dirinya sendiri (Tjhahjadi, 2004: 324).
Jika pada tingkat hukum, seseorang dinilai
dari hasil perbuatannya dalam kesesuaian dengan hukum, maka pada tingkat
moralitas, kualitas manusia ditentukan dari tekad batinya, dari suara hatinya.
Akan tetapi, menurut Hegel, justru karena moralitas menekankan kepatuhan pada
suara hati, maka hal ini pun masih belum konkret. Di sini letak kelemahan dari
konsep moralitas dari Hegel. Suara hati yang dimaksudkan tentu dalam adanya
sebagai realitas tidak terlepas dari prinsip moral yang berlaku dalam
masyarakat. Tentu akan muncul begitu banyak konsep perihal moralitas yang
majemuk, sebagaimana mereka imani dari kelompok atau iman kepercayaan mereka
masing-masing.
Hegel di sini dengan jelas mengecam etika
Kant. Tidak cukup kita mengatakan “ikutilah suara hatimu” sebab suara hati
sendiri masih memerlukan orientasi. Suara hati hanya memberikan perintah agar
kita menaati kewajiban dengan melakukan hal yang benar. Namun, apa yang bisa
dianggap menjadi sesuatu yang benar? Hegel menjawab, yang benar adalah yang
rasional, dan yang rasional digariskan melalui struktur – struktur sosial yang konkret.
Bidang ini disebut Hegel dengan nama Sittlichhkeit.
2.4.3 Sittlichkeith
Istilah Sittlihkeith Hegel ini tidak ada terjemahannya dalam bahasa
Indonesia (dan dalam bahasa-bahasa lain pada umumnya) karena Hegel memakai
istilah ini dengan arti yang lain daripada arti biasa. Dalam bahasa Jerman
biasa, juga dalam literatur filsafat Jerman pada umumnya (misalnya dalam
tulisan Kant) Sittlichkeith
adalah sama dengan moralitas atau sikap moral sehingga bisa diterjemahkan
dengan kata kesusilaan. Akan tetapi, dalam pandangan Hegel, Sittlichkeith berarti bukan sekedar kesusilaan melainkan struktur
atau tatanan sosial masyarakat sejauh merupakan pranata yang mewujudkan
nilai-nilai moral (misalnya kejujuran, keadilan, kebaikan hati) sehingga mampu
mendukung dan mengarahkan individu dalam kehidupan moralnya. Dengan demikian,
cukup tepat jika kata Sittlichkeith diterjemahkan
disini dengan kata tatanan sosial moral.
Dalam studi atas filsafat sosial Hegel,
paham Sittlichkeith ini menimbulkan
dua interpretasi. Interpretasi konservatif
mengatakan bahwa Hegel mengajarkan agar kita menyesuaikan diri saja dengan realitas
sosial yang ada dan secara otomatis juga
kritik terhadap realitas sosial politik harus ditangkis sebagai moralisme
kosong. Sebab Hegel sendiri mengatakan bahwa yang nyata adalah yang rasional,
sehingga yang rasional harus diterima.
Namun tafsiran konservatif ini disanggah oleh tafsiran revolusioner. Mereka menganggap bahwa tafsiran konservatif melupakan konteks
zaman pada saat penulisan buku Rechtsphilosophie.
Masyarakat dan negara yang dibahas Hegel adalah negara pasca Revolusi Prancis.
Masyarakat yang diandalkan Hegel adalah masyarakat yang ditata oleh sebuah
negara yang mempunyai konstitusi tertulis, tatanan hukum, tradisi dan adat
istiadat tak tertulis yang memberikan kebebasan penuh pada subjektivitas
manusia. Di negara pasca Revolusi Prancis ini dijamin penghormatan terhadap
hak-hak asasi manusia dan martabatnya sebagai makhluk yang bebas dan bertindak
otonom (Tjhahjadi, 2004: 327).
Jadi, konsepsi Hegel tentang Sittlichkeith berdasarkan pengandaian
bahwa bidang-bidang objektif kehidupan sosial politik (keluarga, masyarakat dan
negara) sudah mempunyai struktur yang mewujudkan kebebasannya. Jadi, apabila
individu bertindak sesuai struktur-struktur tersebut, berarti ia merealisasikan
kebebasannya sendiri dan sama sekali tidak terasing di dalamnya. Oleh karena
itu, Hegel menyebut Sittlichkeith
sebagai paham kebebasan yang telah menjadi dunia nyata dan kodrat kesadaran
diri.
Di
pihak lain, dengan adanya tatanan sosial yang bernafaskan kebebasan, sikap
moral mempunyai isi yang dapat dipegang. Sebagaimana spirit penghargaan hukum
yang ada pasca Revolusi Prancis, sanksi “bagi subyek bukan sesuatu yang asing”
karena mereka itu “dari hakikatnya sendiri”. Yang dimaksudkan Hegel, manusia
dalam menjalankan kewajiban bukan bergerak dari titik nol, yang bertindak
seolah-olah tidak memahami maksud dari hukum yang ada tetapi melihatnya sebagai
kewajibannya dalam tuntutan-tuntutan yang terkandung dalam struktur-struktur
sosial, jadi dalam keluarga, dalam masyarakat luas dan dalam hukum negara.
Individu baru mencapai kebebasannya yang penuh kalau tidak setiap kali ia mau
bertindak harus mengadakan pertimbangan mendalam yang baru tentang
kewajibannya, tetapi jika ia melakukannya melalui partisipasi yang spontan.
Dalam kehidupan sosial kebebasan seperti inilah yang menjadi sebuah keutamaan
(Jegalus, 2018:28).
2.5 Hukuman Sebagai Hak Manusia dan Relevansinya Terhadap
Pembinaan Fratres Keuskupan Weetebula
2.5.1
Pengertian Hukuman
Hegel membedakan 3
bentuk Hukum antara lain: pertama, Pelanggaran
polos; dalam artian seseorang
berpendapat memiliki suatu hak yang sebenarnya tidak dimilikinya. Kedua, Penipuan; dalam artian bertindak melawan
hukum di bawah kesan pengakuannya. Ketiga, Tindak
kriminal atau paksaan; dalam artian kehendak umum yang terpatri dalam hukum
maupun kehendak khusus orang tersebut disangkal.
Hegel
mengungkapkan hubungan antara hukum dan pelanggarannya dalam dialektika antara
hakikat (noumenon) dan fenomena (phenomenon) belaka. Hukum sebagai
kehendak umum diperhadapkan oleh kehendak khusus seperti kesan kebetulan
berhadapan dengan hakikatnya. Dalam
pelanggaran hukum, kehendak khusus menjadi fenomen belaka. Karenanya tidak
memiliki kekuatan kala diperhadapkan dengan kehendak umum. Hukum menyangkal
pelanggaran hukum. Kehendak umum membuktikan diri sebagai suatu yang ‘mantap
dan berlaku’.
Melihat
bahwa pelanggaran hukum tidak dibiarkan melainkan harus ditiadakan, maka bagi
Hegel hukuman dilihat sebagai upaya meniadakan pelanggaran hukum dan karena itu
perlu. Karenanya hukum memuat sanksi berupa materi. Namun hal ini dirasakan
belum cukup. Pelanggaran hukum bukan
sebatas menimbulkan kerugian material tetapi menimbulkan kepincangan yang mana kehendak khusus melakukan perlawanan
terhadap kehendak umum yang terungkap
dalam hukum. Karena itu Hegel memaknai hukuman sebagai bentuk pelanggaran
kehendak khusus penjahat yang melanggar hukum.
Dari
pola pikir di atas Hegel sampai kepada pertimbangan yang mengejutkan (bersifat
progresif) bahwasanya penjahat sendiri
berhak atas hukumannya dan bahwa ia di dalam hukuman dihormati sebagai ‘makhluk rasional’; sebagai makhluk
subyektif. Hegel bahkan mengakui “bahwa orang harus memberikan persetujuan
terhadap hukumannya”, namun segara ia menambahkan bahwa penjahat sudah
memberikan persetujuannya itu dengan pelanggarannya;
dengan tindakan kriminalnya (Jegalus, 2018: 32). Si penjahat melalui
perbuatannya, memasang sebuah undang-undang yang diakuinya dalam perbuatannya
bagi dirinya sendiri, yang karena itu boleh menjadi landasan haknya. Dengan
demikian, perbuatan kriminal si penjahat secara implisit menciptakan hukuman
dan hal itu mengimplikasikan bahwa pelanggaran hukum ditiadakan, artinya bahwa
ia sendiri dihukum; sebagai yang empunya kehendak khusus. Argumentasi ini
berdasarkan anggapan bahwa setiap tindakan individu makhluk yang rasional
mewujudkan sesuatu yang universal, dan dengan demikian, dengan sendirinya
mengimplikasikan bahwa yang universal itu membuktikan diri sebagai yang
berlaku.
Pandangan
di atas dapat dirangkum sebagai berikut: Hakikat hukuman adalah pelanggaran kehendak umum oleh kehendak
khusus. Hukuman merupakan tuntutan keadilan. Baik dalam sudut pandang hukum
yang oleh keberadaannya berupaya untuk meniadakan pelanggaran hukum, maupun
dari sudut pelaku tindak kejahatan sendiri yang sebagai makhluk rasional
mengklaim keadilan. Sebab hukuman tidak dipandang sebagai ungkapan balas dendam
sebagai akibat dari rasa sakit, sebab jika demikian maka bertentangan dengan
martabat sebagai manusia. Hukum harus dilihat sebagai prasyarat pelaksanaan
kehendak subjektif masing-masing orang.
2.5.2
Renung Realitas
melalui Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma perilaku sosial
menyatakan bahwa obyek studi sosiologi yang konkret dan realistis adalah
perilaku manusia yang nampak dan kemungkinan berulangnya. Paradigma ini
memusatkan perhatiannya pada hubungan antara pribadi dan lingkungan (Raho, 2016:55).
Menurut paradigma ini individu-individu dalam mengambil sikap dan tindakan
tidak terlepas dari hubungannya dengan lingkungan. Pola laku yang dilakukan
oleh individu secara langsung ikut mempengaruhi sistem yang ada. Akan ada
perubahan lingkungan sebagai akibat dari tindakan individu-individu yang ada di
dalamnya, jika individu-individu tersebut melakukannya berulang-ulang kali,
atau menjadikannya sebagai kebiasaan.
Terhadap paradigma ini, kami
mencoba mengkorelasikannya dengan analisis kami terhadap pola hidup para Frater
di Konvikt Keuskupan Weetebula. Pola hidup yang dimaksudkan di sini terkait
dengan sikap tanggung jawab terhadap segala bentuk peraturan yang telah
disepakati bersama. Mencoba menguraikan bentuk atau corak hidup para Frater
terhadap aturan yang ada. Sejauh mana aturan yang ada berhasil mendidik para
formandi selama menempuh proses pendampingan dan pendidikannya. Menjadi suatu
hal yang tidak dapat disangkal ialah bahwa terkadang aturan-aturan yang adalah kehendak umum; yang menjadi hukum
tertulis dan disepakati bersama dilanggar dengan tau dan mau oleh para Frater.
Sebagai misal bahwa pada tanggal yang ditentukan (contoh tanggal 10 dalam bulan)
adalah jadwal penerbitan mading unit (das
sollen). Namun realitas yang terjadi ialah hingga saat yang ditentukan
masih ada Frater yang belum menulis artikel (das sein). Tindakan ini yang dalam kacamata Hegel disebut sebagai kehendak khusus kerap kali diselimuti
oleh alasan-alasan yang tidak masuk akal. Namun pada prinsipnya para Frater
lebih bergiat menentang kehendak umum dengan kehendak khusus yang diimani
mereka masing-masing.
Lantas terhadap pelanggaran
ini, apa yang kemudian menjadi tindak lanjut dari pengurus? Tentu hal yang
pertama dilakukan ialah memberi waktu tambahan (toleransi waktu yang salah
kaprah). Tentu tindakan ini tidak akan
efektif. Pada akhirnya mading diterbitkan tanpa tema, karena tulisan yang
kemudian dikumpulkan oleh pengurus adalah tulisan ‘koleksi’ dari teman-teman Frater
yang menaruh perhatian pada pengurus yang kebingungan mengumpulkan tulisan-tulisan
dimaksud. Contoh ini, hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk pelanggaran
aturan di Konvikt Keuskupan Weetebula.
Terlepas dari toleransi yang
diberikan oleh pengurus, terhadap setiap Frater yang melakukan kesalahan dan
membenarkan diri dengan pretensi-pretensi tertentu, kami membaca fenomena lain
terkait dengan pola perilaku ini. Bahwa pada prinsipnya banyak Frater yang lari
dari tanggung jawab, disaat yang bersamaan juga lari dari hukuman yang
seharusnya diterima sebagai konsekuensi logis dari kesalahan yang dibuat
(pandangan awam). Lantas tindakan ini kemudian seolah-olah menjadi kebiasaan
yang dilakukan terus menerus. Hingga sampai pada tataran tidak menyadari bahwa
tindakan tersebut sebenarnya merupakan sebuah pelanggaran terhadap aturan yang
ada. Lantas sistem yang ada juga terpengaruh. Konvikt Keuskupan Weetebula
seakan menjadi tempat yang nyaman walau
para Frater melakukan banyak pelanggaran dan kesalahan. Sebab setiap
pelanggaran tidak mendapat hukuman yang setimpal dan tentunya tidak akan ada Frater
yang datang kepada pengurus untuk bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dibuat oleh mereka.
2.5.3
Hukuman Sebagai
Hak Manusia dan Relevansinya
Berhadapan dengan realitas
yang ada, tentu satu hal yang nampak adalah bahwa para Frater KW sampai pada
tahap ini belum melihat hukuman sebagai bagian dari proses memanusiakan manusia,
sebab hukuman lahir untuk menjaga ketertiban bersama dengan menjadi jaminan
akan hak individu masing-masing. Hukuman harus dilihat sebagai pengakuan terhadap kehendak dan kebebasan individu. Sebagai bentuk
panggilan moral manusia sebagai makhluk rasional yang berupaya mencapai apa
yang menjadi kebutuhan moralnya sembari menjaga hak hidup bersama sebagai suatu
komunitas. Hukum harus dilihat sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kebebasan
serta keutuhan masing-masing orang
sebagai ens rasionale. Setiap orang
harus secara sukarela taat kepada hukum, bukan sebagai sesuatu yang berasal
dari luar kehidupannya. Hukuman tidak harus sampai mengalienasi manusia yang
adalah subyek dari hukum. Hukum sebagai kehendak umum dibuat atau disepakati
sebagai landasan umum dari pola laku dalam hidup bersama. Hukum sebagai yang
universal mewujudnyatakan keadilan terhadap semua orang sebagai manusia.
Terutama bagi si pelanggar hukum.
Berkaca dari pandangan Hegel hukuman yang diterima
sebagai konsekuensi dari tindakan melanggar aturan harus dilihat sebagai hak
agar dia dihormati di dalam tatanan hidup bersama. Apabila seseorang melanggar
aturan, maka seharusnya wajib untuk ia bertanggung jawab. Mengakui kesalahannya
terhadap pihak terkait yakni para pengurus atau pembina yang ada dan siap
menerima hukuman dengan lapang dada. Ketika seseorang yang mengakui
kesalahannya kemudian bersedia menerima hukuman maka di satu sisi dia
menghargai keutuhan kemanusiaan sebagai subyek yang menghargai kehendak umum. Sebaliknya apabila seseorang
melanggar aturan dan lari dari hukuman, maka di saat bersamaan dia telah
menghina kemanusiaanya dan melecehkan kodratnya sebagai manusia yang hidupnya
dipengaruhi oleh tatanan sosial moral yang ada di lingkungan hidup.
Demikian pula dengan para pengurus yang tidak tegas
menjatuhkan hukuman terhadap para Frater yang melanggar aturan, maka dalam
konsep pemikiran Hegel bisa dikatakan sadar atau tidak para pengurus telah
menginjak martabat kemanusiaan dari Frater yang bersangkutan. Harus ada
keberanian untuk mengakui kesalahan dan siap menerima hukuman, karena demikian
esensi pribadinya sebagai manusia dijunjung tinggi. Bentuk keberpihakan dan
kehendak manusia sebagai makhluk subyektif terhadap kodrat kemanusiaannya mesti
menaruh perhatian pada hak pribadi mereka, termasuk mendapat perlindungan dari
hukum. Bentuk perlindungan ini juga mencakup intervensi dari hukum terhadap
tiap-tiap individu apabila melakukan kesalahan atau pelanggaran.
Tentu tindakan progresif ini, memungkinkan para Frater
untuk selalu merefleksikan bahwa mereka hanya akan dapat mengembangkan kebebasan
pribadinya sejauh diperhadapkan dengan batasan hukum dan norma sosial yang
jelas. Peraturan yang ada harus dilihat sebagai patokan untuk mengekspresikan
kehendak masing-masing pribadi sebagai anggota komunitas. Sebab jika tidak maka
tentu bukan tidak mungkin pola laku lari dari hukuman akan mempengaruhi sistem
pembinaan di konvict Keuskupan Weetebula. Peraturan dan hukuman atas
pelanggaran yang dibuat menjadi basis atau roh dalam kehidupan komunitas, yang
mana dari sanalah segala bentuk ekspresi dieksplorasi. Dengan demikian segala
bentuk tindakan dan perilaku dalam menjalankan keseharian sebagai pribadi yang
ada bersama sebagai satu komunitas melekat satu pemikiran bersama perihal apa
yang harus dibuat dan konsekuensi yang akan diterima menentang aturan yang disepakati
sebagai kehendak bersama dalam suatu tatanan sosial yang rasional.
BAB III
PENUTUP
Secara
umum dasar dari pembacaan kami terhadap Roh
Objektif dalam kaitannya dengan pola laku yang ada di lembaga pendidikan
calon imam; Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui-Kupang secara menyeluruh dan
secara khusus di Konvikt Keuskupan Weetebula adalah untuk melihat sejauh mana
tingkat penghargaan para Frater terhadap aturan. Bahwa penghargaan terhadap
aturan dan kebijakan yang ada telah mengalami degradasi sebagai akibat langsung
dari kurangnya rasa tanggung jawab para Frater serta internalisasi nilai yang
sangat lemah. Sebuah situasi yang semestinya perlu menjadi perhatian bersama,
mengingat para Frater kelak akan menjadi panutan dalam hidup bersama di
tengah-tengah masyarakat. Menjadi titik pijak bila berbicara tentang
internalisasi nilai.
Hukum, moralitas dan tatanan sosial moral harus dilihat sebagai komponen dasar dalam mencapai standarisasi kemuanusian yang baik. Nilai manusia tidak terletak dalam kuantitas atau dalam unsur lahir, melainkan dalam sikap batin pribadi. Dengan demikian manusia individual memahami diri sebagai persona, artinya sebagai pusat pengertian dan kebebasan yang mengandung tanggung jawab pribadi. Setiap orang sebagai manusia bernilai pada dirinya sendiri. Hukum harus dilihat sebagai sesuatu yang adil dalam dirinya sendiri dan dalam diri banyak orang. Refleksi terhadap kehendak umum harus dijadikan sebagai patokan untuk merealisasikan kehendak khusus agar tidak terjadi perbenturan di dalamnya. Hukuman harus dilihat sebagai upaya menghargai esensi kemanusiaan manusia. Hukuman harus dilihat sebagai hak yang harus diterima oleh manusia sebagai makhluk subjektif dan berkehendak atas dirinya sebagai pribadi yang utuh. Akhirnya hukuman dipahami sebagai sarana pembentukan moral dan karakter, selaras dengan norma etika dan tanggung jawab dalam kehidupan religius dan komunitas gerejawi.
DAFTAR PUSTAKA
Drijarkara, N. , 1969, Filsafat Manusia, Kanisius, Yogyakarta.Gervey, James, 2010, 20 Karya Filsafat Terbesar, Kanisius, Yogyakarta.
Hardiman, F. Budiman,
2007, Filsafat Modern dari Machiavelli
Sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jegalus, Norbertus, 2018, Bahan Ajar Filsafat Sosial, Fakultas Filsaf, Kupang.
Jhajadi, S. Petrus L, 2004, Petualang Intelektual,Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Kanisius, Jakarta.
Lubis, A. Yusuf, 2016, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Modern, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Raho, Bernard, 2016, Sosiologi, Penerbit Ledalero, Maumere.
Rhiti
Hyronimus, 2011, Filsafat Hukum, Universitas
Atma Jaya, Yogyakarta.
Sihotang,
Kasdin, 2009, Filsafat Manusia Upaya Mambangkitkan
Humanisme, Kanisius, Jakarta.
[1]
Das Ding an sich adalah sebuah konsep filsafat dari bahasa Jerman yang secara
harafiah berarti "benda pada dirinya sendiri".
[2] Menurut Kant, pengatahuan apriori adalah pengatahuan yang kesahiannya tidak tergantung secara logis pada pengalaman (maksud presepsi).
Keterangan: Tulisan ini adalah salah satu makalah sidang akademik yang pernah didiskusikan oleh para Frater Keuskupan Weetebula pada tahun 2020 di aula St. Yohanes Maria Vianeyy Konvict Keuskupan Weetebula- Seminari Tinggi St. Mikhael. Tentu ada banyak kekurangan dalam kajiannya dan sedang dalam proses pendalaman lebih lanjut oleh penulis.
Komentar
Posting Komentar