Sebuah catatan_-NAM AIR IN641

Di ketinggian tiga puluh ribu kaki (sebut saja), seorang lelaki duduk diam di antara denting mesin dan udara tipis yang nyaris tak bergerak. Dari jendela kecil pesawat, dunia tampak kecil dan tak banyak keributan; bak paradoks dalam sebuah perjalanan.

Ia telah lama hidup di bawah bayang-bayang abstrak: menjadi tenang, menjadi teguh, menjadi percaya, menjadi seperti yang diharapkan banyak mata. Tapi semakin keras ia mencoba memenuhinya, semakin ia kehilangan keping-keping dari dirinya sendiri. Ekspektasi bukan lagi sekadar dorongan, melainkan kabut yang menutupi pandangan; membuatnya ragu apakah semua yang sedang ia tapaki masih  disebut layak?


Dalam kepalanya, tuduhan-tuduhan kecil berkeliaran seperti serangga di cahaya: tak pernah benar-benar menyakitkan, tapi cukup untuk mengusik. Dipaksa menjelaskan apa yang bahkan tidak pernah menjadi bayangan. Entah berapa orang yang percaya; atau sekadar merasa bahwa ada jenis ketakutan yang tak bisa dijelaskan; bukan takut gagal, melainkan takut kehilangan arah di tengah hiruk-pikuk kesibukan yang disebut rutinitas; kadang disebut juga kewajiban; dan masih banyak sebutan lainnya. 


Setiap detik di udara terasa seperti ujian sunyi: mampukah seseorang tetap jujur pada dirinya sendiri ketika semua orang menatapnya dari bawah? Mampukah ia tetap mendengar suara batin di tengah kebisingan dunia yang terus menuntut “seharusnya”? Mampukah ia menjadi manusia merdeka yang tak menghabiskan hari-harinya dengan jawaban-jawaban atau menatap layar kecil di tangannya?


Di balik gumpalan awan, ia berpikir barangkali langit menyimpan jawaban yang tak perlu diucapkan. Demikian pula manusia; tak selalu butuh penjelasan; hanya ruang untuk diam, menatap kekacauan dalam dirinya, dan menyadari bahwa ketenangan bukan sesuatu yang dicapai, melainkan diterima. Jika tenang itu mahal; maka cukup pastikan kau masih menjadi sosok yang selalu merindukannya. 


Kadang ia merasa hidupnya seperti sebuah penerbangan; terarah tapi tak tentu. Ada tujuan yang jelas tertulis pada tiket, tapi tak ada jaminan ketenangan di perjalanan. Di antara guncangan halus dan cahaya lampu kabin, ia bertanya dalam diam: mungkinkah seseorang menemukan makna tanpa harus memuaskan semua pandangan? Mungkinkah kesetiaan pada diri sendiri dianggap cukup, bahkan tanpa pengakuan?


Di tengah heningnya langit, ada sesuatu yang pelan-pelan menenang. Barangkali kesadaran bahwa tidak semua harus diselesaikan. Bahwa beberapa luka hanya butuh diterima, bukan dijelaskan. Bahwa hidup tak menuntut kesempurnaan, melainkan kesetiaan; pada arah yang mungkin samar, tapi ada kejujuran.


Pesawat terus melaju, menembus udara dan waktu. Di sanalah ia menemukan seberkas kelegaan: bahwa di balik semua suara, masih ada ruang untuk diam; di balik semua keraguan, masih ada kemungkinan untuk percaya. Pada kursi 10C; ia sadar bahwa perjalanan terjauh bukanlah dari satu pulau ke pulau lain, melainkan dari keraguan menuju pengertian: bahwa menjadi utuh tidak selalu berarti tanpa luka.


Dan ketika lampu tanda sabuk pengaman menyala, menandai bahwa penerbangan akan segera berakhir, dan ia menyadari sesuatu yang sederhana namun dalam; mungkin menjadi dewasa bukan tentang menemukan jawaban, tapi tentang belajar duduk tenang di tengah pertanyaan.


Ia menghela napas pelan, membiarkan pikirannya turun perlahan bersama pesawat. Di luar sana, bumi menanti dengan segala riuhnya. Tapi untuk sesaat, di antara awan dan waktu, seorang pemuda telah berhasil menyibukkan dirinya; meski hanya sebentar, namun cukup untuk membuat perjalanan ini menyenangkan. Setidaknya untuk saat ini_




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lelaki di Sepanjang Kisah

"Querida: surat untuk yang tak pernah dibaca"

Monolog