Hidup Terlalu banyak Aminnya.
Pada
suatu hari yang membosankan, sang lelaki merangkai keributan di kepalanya.
Tentang banyaknya amin yang bertebaran pada lembaran percakapan manusia hari
ini. Ia baru saja kehilangan orang yang paling ia cinta, ya setidaknya dulu sang
lelaki pernah berpikir untuk menghabiskan sisa waktu bersamanya.
“Benar
bahwa kematian hanyalah satu dari sekian banyak hal di bumi yang tidak bisa dikendalikan
oleh siapa pun dalam hidup. Kadang kita berpikir bahwa hidup itu penuh rahmat;
penuh berkat tapi di satu sisi kita menyangkal saat berjumpa dengan apa yang dinamakan kehilangan. Kadang kita memberontak saat bersua dengan hal-hal yang tidak bisa
dikendalikan. Tidak bisa menentukan keputusan untuk memilih atau menolak. Hidup
mengalir tanpa permisi, berjalan tanpa meminta izin, bebas tanpa kendali. Dan pada akhirnya pada banyak kesempatan kita hanya bisa berkata -amin”.
Sang lelaki menyelesaikan satu paragrafnya. Ia masih
harus mengurus kudanya. Kuda yang ia anggap sebagai malaikat yang Tuhan hadiakan untuk mendengar tiap keluhan dan kesedihannya. Pikirnya Tuhan lupa menempatkan
kesanggupan mendengar yang memadai pada manusia. Mereka terlalu licik untuk
memilih apa yang mereka dengar; terlalu jaim untuk memilih suara siapa yang
perlu dicerna. Manusia yang lain tidak lebih dari hakim yang pandai menghakimi
atau pastor yang memberi nasihat dari balik mimbar sabda. Walau akhir-akhir ini
lebih banyak jadi tempat curhat.
“Entah
sampai kapan protes dan menggerutu jadi respon yang paling sering diungkapkan.
Sebab Dia yang mempunyai kehidupan tidak pernah mengajak kita untuk diskusi
atau bertukar pikiran tentang skenario yang kita lakoni dalam hidup kita ke
depan. Kita hanya akan bertumbuh sebagai makhluk yang percaya bahwa hidup adalah
misteri. Meraba-raba makna di balik setiap peristiwa yang ada dan pelan-pelan
mencoba menyusun mozaik kehidupan yang tidak harus selalu indah, tetapi sebisa
mungkin memiliki makna. Kita tidak diajak untuk sekadar berdiskusi atau ikut menyusun skenario hidup, melainkan dikehendaki
untuk setia memainkan peran yang belum tentu kita pahami seluruhnya. Perihal
yang biasanya disepakati sebagai iman sejati; bukan tentang tahu ke mana arah
jalan, melainkan kehendak agar berani untuk melangkah meski tidak melihat
ujungnya”.
Sang
lelaki mengamini bahwa yang lain dalam hidupnya adalah sebagian dari dirinya. Berbeda
dengan kuda sandalwood yang sedari kecil ia rawat sebagai makhluk yang lain.
Kudanya sesekali menjadi perpanjangan dari jiwanya yang belajar memahami dunia
tanpa kata, yang mengajarkannya arti kesetian tanpa syarat, ketangguhan tanpa
keluh dan kebebasan yang paling ikhlas. Sebab yang Istimewa tidak selamanya
tentang seseorang. Ia melanjutkan uraiannya tentang hidup.
“Hidup
hanyalah suatu bentuk keterlemparan di bumi. Tidak peduli kita happy atau sedih,
menangis atau tertawa, bersyukur atau mengumpat, menerima atau menolak, mau berkata amin atau tidak. Tuhan
meletakkan kita dengan segala ke-ada-annya kita sebagimana kita adalah kita. Akan tampak pemandangan dikatomi yang baik dan yang jahat; yang ikhlas
akan kelihatan lebih survive dan yang bersungut-sungut akan di label kurang
beriman. Sungguh tidak ada yang lebih tenang di bumi selain tidur; untuk beberapa
detik, beberapa menit, jam, hari, minggu atau bahkan selamanya. Dalam tidur,
kita tidak dituntut untuk kuat, tidak perlu menjelaskan apa-apa, dan tidak
harus berpura-pura baik-baik saja. Tidur adalah satu-satunya ruang di mana
manusia bisa benar-benar menyerah tanpa dicap lemah. Di situlah, barangkali,
jiwa mendapat jeda dari sandiwara hidup yang terlalu penuh peran”.
Si
lelaki pun mendapati selembar kertas pada tangannya berubah jadi semacam
rumput; bukan bagi kudanya tetapi bagi isi kepalanya; yang sulit membaca semua
yang ada di kolong langit sebagai sesuatu yang terberi. Ia akhirnya mau mengikhlaskan
sosok yang meninggalnya; bukan siapa-siapa, tetapi sebagian dirinya sendiri. Sebab ia yakin hidup selalu punya cara yang menarik
untuk memberikan arti pada setiap episode yang dilakoni sebagai figur utama
dalam skenario yang berkisah tentang -hidup yang terlalu banyak aminnya.
Komentar