AURELIUS
Takdir adalah apa yang selalu ingin dicapai oleh tiap orang. Terkadang ia menjadi tujuan bagi semua mereka yang berani mengambil risiko untuk berlangkah. Takdir juga menjadi alasan bagi beberapa orang untuk berdiam diri dalam kepala atau menguburkan kehendaknya dalam-dalam. Tiap orang berserah pada takdir dengan caranya masing-masing. Bahkan sepasang burung merpati pun memiliki cara sendiri menyerahkan hidup mereka pada takdir. Berambisi untuk selalu hidup bersama, walau kebersamaan tidak menjamin keduanya abadi. Bagi mereka menjadi sepasang bukan hanya tentang saling melengkapi tetapi bagaimana bersikap adil. Semua anak manusia pun bahkan mulai menyusun takdirnya masing-masing sejak mereka masih belajar mengeja peristiwa demi peristiwa pada mulutnya. Perlahan mengayunkan langkah kecilnya dan berusaha menjemput takdir, yang untuk sekelompok orang memandangnya sebagai yang nihil. Satu hal yang pasti bahwa akan ada kenyataan mahaunik; yakni siapa pun dirimu, sebesar apa pun tekatmu, dan setulus apa pun doamu, kelak akan dipertemukan pada jalan yang sama yakni jalan sebagai seorang pengembara.
*
Anak laki-laki itu disapa Aurelius. Fajar sudah menyingsing ketika ia duduk termenung di hadapan Arca Bunda Maria; pada sebuah gua yang terbengkalai di salah satu sudut kompleks biara tua. Dinding gua yang mulai menghitam dan berlumut, tampak buah lontar yang berserakan di sekitar tempat suci tersebut. “Orang-orang yang mengunjungi tempat ini terlalu sibuk menghitung dosa-dosanya; atau terlalu serius memikirkan cara marayu Tuhan, hingga mereka lupa ada begitu banyak sampah yang harusnya bisa mereka bersihkan,” gumamnya.
Manusia dewasa ini telah kehilangan motivasi untuk membersihkan sampah yang ada di hadapan mereka, apalagi pada kepala dan lubuk hati yang tak kasat mata. Mereka tampak bersahabat dengan ketidakaturan dan lebur di dalamnya hingga kehilangan sebagian dari sisi kemanusiannya.
Perlahan anak lelaki itu membersihkan dedaunan yang berserakan, ranting-ranting pohon dan batang pohon lontar kering. Terlihat buah lontar di tempat ini tidak pernah diolah. Tidak seperti pohon lontar di luar tembok suci ini yang menjadi kebahagian seorang bapa dan harap sang ibu. Bahkan ada banyak calon pemimpin yang meng-asi pada pohon ajaib ini.
Spontan Aurelius berpikir bahwa mereka yang tinggal di tempat ini hanya gemar menikmati daripada sibuk memproduksi. Salah satu ciri khas yang tersamar dari kehidupan kaum berjubah. Mungkin juga ilmu agama yang mereka dalami membuat mereka tidak berpikir sedikit pun untuk mendekati buah yang katanya haram untuk dikonsumsi; karena memabukan. Dalam buku suci orang farisi ada tertulis: “mereka sebagai pelahap dan peminum”; mungkin julukan ini hanya berlaku di 2000 tahun yang lalu dan hari ini sudah berubah. Lagi pula ia sudah bukan menjadi bagian dari mereka. Aurelius kemudian lebih memilih untuk fokus memungut sampah-sampah tersebut daripada berpikir tentang buah lontar dan penghuni biara itu.
Aurelius membakar tumpukan sampah yang ia kumpulkan tersebut dan kepulan asap itu pun mulai memerangi gerombolan nyamuk yang mengusiknya sajak awal ia tiba di tempat ini. Ia pun mengambil posisi yang baik dan sejenak menanggalkan pikir tentang sampah, tentang buah lontar yang tidak diolah, tentang kaum pelahap dan peminum serta suara nyamuk yang mengganggu. Ia pun mulai berlayar dengan sepi yang suci.
Di hadapan sang perawan anak laki-laki itu mengadukan pandangannya yang berisi banyak kecemasan; tentang hidup, tentang cita-cita, tentang kecewa pada orang tua, tentang cinta yang berpaling dan tentang takdir hasil proyeksinya sendiri. Ia berusaha meyakinkan bunda bahwa takdir itu ada dan takdirlah yang membawanya ke tempat ini. Tatapannya mengisyaratkan banyak tanya dan pinta akan petunjuk hidup; ke mana ia harus pergi selanjutnya, keputusan apa yang harus ia buat dan bagaimana ia harus memulainya. Cukup lama tatapan mereka saling berbincang tentang banyak hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Ia pun mengakhiri percakapan hati mereka dengan penggalan doa,
“…. Santa Maria Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati, amin.”
Ia menghela nafas panjang dan mengemas kembali barang-barangnya. Tidak lupa ia kembali menyalahkan lilin-lilin yang padam, sambil berharap semoga doa-doanya tidak senasib dengan lilin-lilin yang rapuh oleh hembusan angin itu. Ia pun hendak beranjak melanjutkan perjalannya.
*
“Hay anak muda, bolehkah saya meminjam korek api mu,” sapa lelaki paruh baya mengejutkan Aurelius. Tanpa ekspresi Aurelius memberikan korek api kepadanya.
“Nanti saya tinggalkan di sini ya anak, supaya besok bapa tidak kesulitan lagi mencari korek api untuk menyalahkan lilin-lilin ini,” pintanya.
“Baik bapa,” jawab Aurelius sopan.
“Tapi nak, tunggu dulu. Kamu hendak
ke mana?,” sambung lelaki paruh baya.
“Saya seorang pengembara pak, saya
berjalan ke mana kaki saya melangkah,” jawab Aurelius.
“Apa yang kamu cari anak di dunia
yang berantakan ini?,” lalu ia mengajak Aurelius untuk duduk bercerita di bawah
pohon beringin yang cukup rimbun; tempat banyak orang bertukar cerita.
“Saya hanya ingin keluar dari cara
pikir banyak orang, tidak ingin membeo pada kehendak keluarga dan kemauan kedua
orang tua,” jawab Aurelius sebelum keduanya tenggelam dalam percakapan yang lebih
dalam tentang hidup.
“Begini anak muda, terkadang isi kepala kita pandai memanipulasi perasaan dan bahkan kebenaran. Kita sering kali terlalu yakin dengan pengelihatan kita sampai melupakan tangkapan mata dari orang-orang di sekitar kita,” sambung lelaki paruh baya itu sambil membakar batang rokok yang ia selipkan pada jari tangannya. Aroma tembakau yang candu pun mulai tercium dan menemani percakapan mereka.
“Bukannya dengan begitu saya bisa berdiri di atas kaki sendiri, kita bisa eksis sebagai pribadi yang mandiri, tidak bergantung pada pendapat dan kehendak orang lain?” tanya Aurelius dengan nada bingung dan sedikit kesal.
“Terkadang apa yang terlalu kamu yakini dalam hidup ini hanyalah jelmaan dari ketidakaturan yang mungkin telah disadari atau dialami oleh banyak orang,” jawab lelaki paruh baya penuh misteri.
“Bagaimana maksud bapa?” Aurelius mendesak bertanya.
“Setiap bekas tapak kaki selalu meninggalkan alasan, sesederhana apa pun itu. Alasan yang terkadang sulit untuk kita pahami, tetapi mungkin dipahami oleh orang lain. Mungkin kamu berpikir lari atau berpaling dari kehendak orang lain adalah pilihan bijak sebagai seorang lelaki dewasa. Tetapi kamu lupa bahwa orang-orang di sekitarmu berbicara bukan dengan mulut tetapi dengan pengelaman. Kamu pun bahkan sulit menemukan alasan atau bukti untuk mengatakan kehendak dan pilihan orang tua atau yang lainnya sebagai sebuah kesalahan atau kekeliruan nukan? Bisa saja apa yang mereka kehendaki adalah yang terbaik untukmu anak muda,” tegas lelaki paruh baya itu.\
“Maaf bapa saya tidak sependapat denganmu,” Aurelius menyela pembicaraan.
“Kamu terlalu jauh berjalan mencari takdir, sampai lupa bahwa sebenarnya mencari yang tidak ada bukanlah tujuan hidup manusia. Tugas kamu sebenarnya adalah mengusahakan yang baik dalam hidup, bertanggung jawab dengan talenta yang telah Tuhan titipkan padamu. Belajarlah untuk lebih banyak mendengar!” tegas lelaki paruh baya itu.
“Lalu apa yang baik dalam hidup?” tanya Aurelius.
“Pulanglah ke rumah, maka kamu akan menemukannya,” lelaki itu mamatikan rokoknya dan beranjak meninggalkan Aurelius dengan banyak tanda tanya.
Aurelius mulai sibuk dengan suara di kepalanya. Ia marasa Tuhan telah mempermainkannya, sejak awal jika memang takdir itu tidak ada, kenapa Tuhan membiarkan pikirannya dikuasai oleh ambisi untuk mencari dan menemukan takdir. Kenyataan yang membuatnya yakin meninggalkan rumah suci dan mencari Tuhan di tempat lain, pergi meninggalkan kampung halaman dan mengharapkan kebahagian di tempat asing. Ia sudah jauh berjalan dan hingga detik ini ia belum memiliki alasan yang cukup untuk pulang. Perbekalannya masih ada dan mimpinya masih utuh. Aurelius tetap pada jalan untuk menemukan takdirnya, ia pun beranjak pergi dan meninggalkan jejak kaki di hadapan sang bunda.
*
Aurelius pun tiba di pesisir pantai, ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan pengembaraannya ke tempat yang baru. Tepat di hadapannya sebuah pulau indah yang katanya menyediakan banyak pekerjaan yang menjanjikan; juga wanita cantik yang bisa ia ajak untuk bercerita tentang temuannya selama mengembara. Pulau itu hanya dua jam perjalanan jauhnya, tetapi antara pesisir pantai dan pulau itu terbentang arus gelombang yang cukup ganas. Sambil menunggu perahu untuk menyeberang, ia menghitung persedian uangnya untuk memastikan bahwa peluangnya untuk mendapatkan teman cerita yang menarik masih memungkinkan atau tidak. Pada tumpukan uang yang mulai usang itu terselip selembar surat dari Elisabeth mantan kekasihnya. Ia pun membacanya sembari angin laut membawa ingatannya pergi pada kenang beberapa tahun silam.
“Aurelius apa yang sedang kamu
pikirkan tentang kita, apakah kamu yakin bahwa tujuanmu yang berseberangan
dengan kedua orang tua mu itu akan mendatangkan berkat bagi masa depan kita?”,
suara lembut sang kekasih memecah keheningan.
“Kalau kamu menginginkan sesuatu,
maka seisi jagat raya akan bekerja sama membantumu memperolehnya,” jawab
Aurelius.
“Tidak ada keberhasilan yang bisa
kamu banggakan dalam hidup, jika tidak ada musuh yang kamu kalah,” sambung
Aurelius dengan senyum yang mengisyaratkan ketegasan sebagai seorang lelaki.
“Bahkan kamu sendiri belum tau Aurelius siapa musuhmu saat ini,” timpa sang kekasih
“Musuh saya adalah semua hal di bumi yang menghalangi saya untuk memilikimu,” tegas Aurelius.
“Kita akan pergi dari kampung halaman ini, jika bapa dan mama masih berpikir untuk menghalangi saya menikahimu. Kita bangun keluarga yang bahagia di tempat lain,” Aurelius coba meyakinkan sang kekasihnya.
“Sudahlah Aurelius, sebentar lagi
saya juga akan pergi jauh untuk melanjutkan pendidikan saya. Mungkin hari ini
adalah saat terakhir saya melihatmu. Kenyataan ini sudah menjadi takdir kita, bahwa
benar cinta tidak harus saling memiliki, tetapi saling mendoakan. Saya hanya
berharap kelak waktu akan kembali mempertemukan kita dan di saat itu hati kita
sudah cukup iklas untuk saling memandang. Pergilah Aurelius!” Sang kekasih
menutup percakapan dan memalingkan pandangnya.
“Tapi….,”
“Hai anak muda, sedikit lagi perahu
akan menyeberang, segera kemas barang-barangmu,” Aurelius dikejutkan oleh seseorang
lelaki.
Ia pun segera mengemas
barang-barangnya. Bergegas membereskan uang dan sepucuk surat dari mantan
pacarnya. Hampir saja ia ketinggalan kapal kayu menuju pulau itu, juga yang
terpenting uangnya masih lengkap dan sepucuk surat itu tidak hilang saat ia
tertidur.
“Elisabeth, kau meresahkan,” gumam
Aurelius sambil berlari menghampiri kapal kayu yang tampak sudah siap berlayar.
*
Darai ombak dan angin laut yang
terasa lembab di kulit, menemani perjalanan Aurelius menuju pulau asing itu. Ia
memungut kembali potongan kisah yang berserakkan di kepala. Mulai dari pertama
kali ia memilih untuk keluar dari seminari dengan dalil bahwa ia tidak bisa
lagi menemukan Tuhan di sana; tentang apa yang baik di tengah keburukan yang ia
jumpai; tentang pulau dan wanita yang akan diajaknya untuk berkencan, tentang
takdir yang masih menjadi misteri. Ia membiarkan semuanya merasuk pada kepala
dan hatinya, sebab pikirnya inilah dinamika hidup. Pulang dan pergi menjadi
isyarat paling abadi; saat ia mulai berani menemukan jawaban atas setiap
pertanyaan yang ia lontarkan pada sang bunda, menentukan yang baik dalam hidup
sebagaimana diucapkan oleh lelaki paruh baya itu, dan iklas mendoakan Elisabeth
serta keinginan yang beralasan dari kedua orang tuanya.
Pergi baginya adalah pulang paling suci
kepada diri. Sebab rumah bukan hanya soal tempat tetapi hati. Mungkin ini yang
dimaksudkan lelaki paruh baya itu, saat menyuruhnya pulang ke rumah dan
berjumpa dengan ‘apa yang baik’. Beralih dari pilihan yang hendak memasungnya
pada angan dan terlelap oleh mimpi yang kosong. Berani mengubah pandangan
tentang takdir menjadi kerinduan dan harap untuk selalu berdamai dengan kehendak
Sang Ilahi. Ia yakin bahwa di pulau ini semuanya akan ia temukan dan ia bisa
memulai satu pengembaraan sejati bersama Tuhan dan dirinya sendiri. Tentunya
dengan restu kedua orang tua dan doa Elisabeth; wanita yang pernah mengucapkan
selamat tinggal paling romantis.
*
“Kita sudah tiba di Pulau Harap, silakan bergegas menuju ke dermaga dan perhatikan barang bawaannya,” teriak lelaki yang membangungkannya dari mimpi di pesisir pantai tadi, kini ia juga membangunkannya pada kenyataan di hadapan matanya. Aurelius dengan langkah pasti menapaki jejaknya di pulau terjanji itu bersama mimpi dan tekadnya yang bulat. Baginya kisah ini bukan tentang sebuah perjalanan tapi tentang siapa yang berani berjalan menentukan arah hidupnya tanpa harus kehilangan sebagian dirinya.
“Bapa dan mama, doakan anakmu,” bisik Aurelius lembut.
Komentar
Posting Komentar