In The Name of Belief

___

Dari kejauhan kedua penjahat  menyaksikan kedatangan Sang Tuan yang hendak disalibkan di antara mereka. Tanya salah seorang kepada yang lain. “Mengapa mereka begitu kejam memukulinya; apa kejahatan yang dibuat orang itu?”. “Mungkin ia korupsi, atau menghianat kepala pemerintah atau melecahkan istri sang raja”, jawab temannya.

“Memang akhir-akhir ini susah menebak kejahatan manusia; baik dan buruk hanya seperti label yang bisa diberikan oleh siapa saja sesuka hati”, percakapan mereka masih berlanjut.

“Sudahlah para perajurit kejam itu semakin mendekat; kita pura-pura menderita saja, supaya bisa mendapat belas kasihan”, ajak temannya.

“Ah sekali-kali aku tidak menderita karena salib ini, tetapi aku jenuh tergantung di hadapan banyak mata para pendosa yang nasib lebih beruntung dari kita”, kata salah seorang dari mereka menutup percakapan tersebut.

Mereka berdua tampak lelah bergantung. Bukan karena paku yang menancap pada tubuh; tetapi oleh tetapan kejam manusia-manusia munafik yang pandai menghakimi.

Suasana makin ribut di saat ribuan cacian dan umpatan melayang di udara; tampak Sang Tuan menikmati semuanya. Baginya semua telah dirancang dan Ia telah lama mempersiapakan hari ini. Penyaliban ini bukan hanya tentang pengorbanan darah, tetapi hari ini berkembang menjadi permulaan aliran kepercayaan atau ritual suci yang tidak semua orang sanggup menjalaninya. Bahkan membayangkannya saja enggan.

___

Salib itu tertancap tepat di dasar hatinya; saat tanya tentang kabar sang kekasih yang masih setia dengan sedihnya. Ia masih gelisah merajut tapak  yang pernah jadi mimpi mereka berdua. Mungkinkah jalan itu akan dilalui bersama atau ia pergi sendiri seperti seorang ibu yang ditinggal suami saat ia tengah asyk menanak mimpi anak-anaknya?

Hari-hari sang lelaki disalibkan diantara harap banyak orang dan realita yang saat ini mengusik hampir seluruh isi kepalanya. Yang ia lakukan adalah berpura-pura menderita supaya mendapat belas kasih atau di saat tertentu lebih sering tersenyum agar terlihat baik-baik saja. Ia berhasil menipu banyak pasang mata, tetapi tidak dengan kekasihnya.

Teringat dulu saat pertama mereka berjumpa; sang lelaki hanyalah pemuda sederhana yang tak memiliki apa-apa selain cinta yang nekat. Kegigihannya berbuah pada hati  sang kekasih yang dititipkan dengan penuh ketulusaan padanya. Ia berhasil memilikinya bersamaan dengan umpatan orang-orang yang lupa akan salib yang tertancap pada mata mereka.

Kini cerita indah itu menjelma menjadi cerita sebelum tidur yang terus ia kisahkan dengan dirinya sendiri; sembil merayu bintang untuk membisikan kata rindu pada sang kekasih di kejauhan sana. Ia merayu bintang-bintang untuk sanggup menguatkan sang kekasih untuk menanti kapan kejenuhan itu diturunkan dari salib dan selanjutnya dikafani dengan mimpi yang tulus sebelum dimakamkan pada kedua telapak tangannya yang tak pernah  lelah merayu Tuhan.

Kepalanya seakan menjelma menjadi kedua penyamun yang terus menyiksa sekaligus menghibur; menyadarkan ia akan kenangan indah di puncak tabor hati yang mereka bentuk bersama dan di saat yang bersamaan melukai dengan piluh puncak golgota yang sarat akan penyangkalan dan penghianatan.

Sang lelaki akhirnya berpikir bahwa terkadang tidak semua yang ada pada hidup musti dipikirkan secara keras; sebagai misalnya cara mencintai; usaha untuk mendamaikan mimpi yang indah dengan realita yang memaksamu mengecap rasa pahit; rajut kain harap sang kekasih dan tapak yang akan dilalui nanti. Sebab semua yang ada di kolong langit tidak lebih dari para pementas drama yang berjuang bersama-sama memamerkan kebohongan dan berusaha menuntaskan tugasnya dengan serapi mungkin. Menyatukan kutuk pada kepala dan berkat pada lubuk hati, menjadi rutinitas yang dibiarkan mengalir begitu saja.

Ia hanya berharap semoga mimpi-mimpi sang kekasih yang saat ini sedang berlayar di tengah gelap dan luasnya lautan, menjelama menjadi tangan-tangan suci yang membalut tubuhnya agar bisa tidur dengan tenang dalam kebahagiaan. Menjadi tangan yang tak pernah lelah untuk mendekap dan tak bosan menggenggam dirinya di saat penuh dengan kerapuhan. Cukup dengan percaya; maka akan jadi alasan untuk tegas mengucapakan amin.

Sang lelaki melanjutkan pekerjaan membangun mesbah persembahan sebelum ia melanjutkan hari-harinya yang membosankan atau memilih tuk memulai mimpi barunya yang suci. Ia tampak berusaha mengelabuhi rindunya pada sang kekasih. Rindu memang bukan hanya tentang jarak tetapi juga jaminan untuk sebuah kepercayaan. Kepercayaan yang dianut dan diimani oleh sepasang kekasih.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

AURELIUS

HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA

Pesawat Terbang dan Kebun Tomat