Jejak Kaki Sang peziarah

 Senu__
Perjalanan sang lelaki tampaknya mulai suram; saat kakinya mulai sepi untuk terus melangkah menuju tempat yang katanya ada banyak tawa; sedang di saat bersamaan banyak mulut yang mengoceh mempertanyakan ini dan itu. Tampak sulit membedakan mana peduli dan mana yang menghujat; mana yang melindungi dan mana yang membuly. Doanya semoga makin banyak udara yang segar untuk dihirup; karena tentu saat ini kepalanya tengah berjuang untuk memilah mana yang ia tuai mana yang akan dibakar bersama ilalang yang membentang di hadapan mata dan di samping kupingnya yang peka.

Tidak lupa gulungan kitab suci ia sisipkan di bawah bantal; agar sekatika bila bayang tentang bahagia itu muncul; ia bisa dengan cekat mencatat detail tata cara atau ritual yang harus dibuat untuk menggapainya nanti saat ia terjaga. Mengingat bahagia hari ini cukup mahal untuk dinikmati oleh orang-orang yang terhimpit oleh tangkapan sederhana manusia. Yang kuat akan bersikap bodoh amat; yang lemah akan amat dibodohkan.

Akhir-akhir ini sang lelaki pandai mengubah air matanya jadi jimat yang membuatnya kuat menapaki tiap jalan dengan nafas yang tersisah. Usahanya untuk mencintai dengan tenang ibarat niat seorang anak kecil yang ingin mengeringkan halaman rumahnya saat hujan sedang ingin bercumbu dengan bumi. Akhirnya ia hanya pasrah menanti kapan datang sinar mentari dari balik jendela kaca sambil menulis nama gadis kecil yang diam-diam ia kagumi.

Ia juga  merapikan semua kenang masa lalunya; dari yang paling indah hingga yang paling buruk. Dan dari semua kenang itu, hanya dekapan ibulah yang masih terasa hangatnya hingga hari ini.

Selanjutnya sang lelaki memilih untuk mencinta dirinya sendiri dan juga permaisuri yang sudah ia tiduri dalam mimpi dan khayalnya; menepis semua cacian dan kutuk dari banyak orang. Baginya perjumpaan mereka bukan tanpa alasan; dan Tuhan tidak mungkin mempertemukan mereka hanya untuk menjadi pelakon dari drama perpisahan yang menyedihkan. Tuhan memiliki rencana indah untuk rasa yang mereka rawat bersama; untuk semua nazar yang sudah mereka kerjakan maupun yang sedang mereka rajut bersama dalam hati kecil mereka.

Nazar yang mampu menepis tulah; takut akan kehilangan. Ia pun mencatat nazar itu pada halaman paling pertama kitab suci yang ia bawa ke mana-mana. Berharap kelak semuanya akan tuntas mereka kerjakan. Seorang lelaki yang mulai khusuk mendiskusikan masa depannya bersama Tuhan; merayu  Tuhan agar lekas menghadirkan kedamaian dan menunda perpisahan. Mengijinkan cinta itu sekekal hujan yang sedari tadi dicaci oleh si anak kecil karena telah merenggut bahagiannya hari ini.

Akhirnya sang lelaki tetap melangkah karena ia percaya misi ini adalah sebagian dari jiwanya; setia menanti bahagia yang paling iklas untuk dinikmati. Tanpa harus memikirkan perasan melukai orang lain; menyangkal sandiwara para penipu; meragukan air mata orang-orang yang sering mencacinya dan tak sedikit pun cemas dengan kutukan orang-orang yang sering menipu Tuhan. Baginya tapak demi tapak harus dilalui dengan romantis tanpa dendam apalagi luka. Mungkin selama ini selalu menjadi amin untuk pintah banyak orang; pekerjaan yang membuat sedikit kehilangan arah dan harus bersusah payah untuk menemukan kembali jalan pulang yang tepat.

Tampak anak kecil itu pun melupakan hujan dan berlarian di pelataran rumah. Ia berteriak pada Tuhan tuk berucap syukur; ternyata hujan juga punya cara yang luar biasa untuk membuat anak kecil itu bahagia. Sang lelaki pun termenung; bahagia bukan keniscayaan tapi pilihan yang patut untuk diperjuangkan. Bahagia sejati bukan tentang sebuah tontonan yang ditawar-tawar  dan damaikan dengan kenyamanan banyak orang; bahagia adalah tentang keiklasan untuk membiarkan bibir tersenyum dan hati lelap oleh sepi yang sejuk. Bahagia bukan tentang hasil dari usaha tapi proses saat sedang mengusahakannya. Dia pun mengerti bahagia ibarat hujan yang bisa terus dinikmati oleh bumi tanpa harus bersusah payah memohonnya turun untuk menjamah dahaganya. Bahagia adalah doa yang selalu khusuk untuk dipersembahkan. Bahagia adalah dekapan ibu yang tak pernah dingin.

“Semoga ia kekal untuk selamanya…” sebuah kalimat yang tertulis pada lembaran pertama kitab suci itu.

Aku tak lanjut membacakan kitab suci itu; karena sebuah pesan pada notif hp-ku: “Belum selesai?” ____ “Bahkan aku belum memulainya”; balasku singkat. 

Aku masih menikmati perjalanan sang lelaki itu.



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AURELIUS

HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA

Pesawat Terbang dan Kebun Tomat