Tentang Rasa & Pulang
Sejauh ini saya masih yakin bahwa bukan jalan yang membawa seseorang pada suatu tempat yang ingin ia gapai; tatapi sepasang kaki yang kuat. Manusia tidak harus ada dan hidup; kerenanya perjalanan dan apa pun penamaannya hanya sebatas pada cara manusia untuk mengisi tiap waktu yang terus berlalu. Hingga hidup bukan lagi kesia-siaan belaka seperti kata pengkotbah melainkan berkat sebagaimana ditulis ke-4 penginjil. Lantas ada banyak rasa yang kemudian hadir sebagai alasan untuk memberikan panamaan atas tiap-tiap keadaan manusia; senang - tidak senang; baik - tidak baik, dan dikatomi emosional lainnya.
Memulai perjalanan dengan tanya pada kepala; cemas yang seakan merampas semua keyakinan diri; ragu yang terus menggerutu dan sedikit harap yang entah datangnya dari mana. Tampak saat itu kaki berat untuk melangkah, kepala masih riuh oleh pertentangan, hati yang tawar untuk menerjemahkan tiap alasan dan bahkan rasa enggan untuk memulai tapakan pertama. Kesan awal yang cukup meninggalkan cerita pada ingatan; bahwa awal mula ada usaha untuk mendamaikan kepala dan hati yang cukup baik dilakukan.
Rasa itu berlahan mulai berwarna, hari-hari seakan menjadi ladang untuk mengais bahagia dan mengumpulkan banyak rasa. Coba berdamai dengan semua situasi. Perlahan buka hati, mengawinkan perasaan yang menarik dengan perasaan dari sosok yang lain. Walau selanjutnya terjebak pada keadaan nyaman untuk mencinta dengan tidak memiliki tetapi mendoakan; dan hingga hari ini seakan terus bertahan bersama kemunafikan dengan anggapan bahwa cinta model ini adalah jenis cinta yang paling suci, sebab sebanarnya hanya jadi alasan agar kelak tidak jadi penyebab jika muncul luka di kemudian hari. Soal ini ternyata keliru, sebab ketakutan jenis ini sebanarnya adalah cara untuk melukai itu sendiri. Percayalah bahwa rasa jenis ini adalah rasa yang paling indah untuk dirayakan dan paling rumit bila dipertanyakan apalagi diperdebatkan.
Dikemudian hari; pada penanggalan awal masa, muncul pula rasa tanpa alasan hingga ada kesempatan untuk memiliki. Berharap kisah yang dikemas dengan begitu rapi ini jadi alasan bila nanti ada jalan lain yang mungkin saja dilalui. Separuh hati kemudian jadi persembahan paling suci untuknya sebelum dihantar bersama doa dan pujian pagi di hadapan Tuhan. Namun akhirnya rasa ini berkembang jadi kisah yang paling rumit. Antara keinginan hati kecil untuk terus memiliki dan ego untuk enggan menuruti bisikan hati kecil. Baginya mendengarkan suara hati adalah cara paling halus untuk melukai isi kepalanya sendiri. Mungkin masa lalu adalah kenangan paling pahit untuk jadi pengingat. Ia kemudian berubah jadi siluman yang paling cantik dan tak sedetik pun lalu dari aktifitas berpikir. Ekspresi rindu sepihak yang masih diamini hingga hari ini. Seperuh hati yang dipersembahkan kepadanya berubah jadi separuh harapan yang hingga detik ini masih rapih ditatakan tepat di bawa telinga Tuhan. Semoga Ia tidak jenuh untuk mendengar.
Ada pula rasa paling sederhana yang muncul kemudian. Bermula dari ingin menjadi alasan untuk konsep bahagianya. Tatapi yang diperoleh kemudian adalah pengalaman bahagia bersama dengan cara paling sederhana; bahwa bahagia juga bisa didapati dari sebuah kepolosan, tanpa rekayasa, tanpa mimpi yang mahal, tanpa ucap terima kasih atau kata maaf berkali-kali. Kini bukan lagi soal hati siapa yang diperjuangkan tetapi sosok siapa yang dengannya kau mau berjuang tuk menjemput bahagia. Berjuang harus tertuju pada bahagia. Itu saja opsinya. Akhirnya hati yang masih trauma mulai belajar untuk terbuka; bertatih-tatih mulai menata dengan lebih rapi tiap komit dan harapan-harapan kecil yang muncul kemudian di sela percakapan sehari-hari. Kali-kali bahahgia model ini direstui dan jalan jenis ini adalah jalan 'terjanji'. Amin jadi jawaban paling serius untuk diteriaki saat ini.
Rasa-rasa perjalanan dengan rasa-rasa ini masih belum usai tuk dituai, namun waktu tetap akan menyadarkan bahwa untuk segalanya ada ruang dengan batasan-batasan yang ikut serta. Teruntuk semua rasa adalah abadi dan tersisah yang fana adalah pikiran untuk terus memiliki. Rasa kemudian cukup jadi jarahan yang paling suci untuk dibawa serta. Bahkan diujung cerita, air mata pun ikut memberi yakin bahwa pergi bukan jalan atau cara untuk menghilang, tetapi pergi adalah alasan untuk seluruh penglaman pulang kita masing-masing. Ssemua rasa selalu jadi simpul untuk tiap-tiap harapan untuk semua tempat atau sosok yang jadi perihal kepulangan tiap-tiap pribadu. Jangan takut berjalan, sebab ada banyak titik kita akan disambut dan disentuh oleh banyak rasa dengan kenikmatannya yang menatang. Akan berjumpa dengan berbagai macam ekspresi emosional yang menarik. Percayalah bahwa rasa yang ada dalam setiap helai nafasmu hanyalah isyarat sederhana untuk pulang.
Komentar
Posting Komentar