Perkara Menabur Senang
Sebuah perjalanan baru akan selalu jadi hadia yang ditunggu-tunggu oleh para peziarah yang tangguh. Meniti tiap kesempatan untuk sekadar menyemaikan beberapa harapan; agar kelak tumbuh dan berbuah bagi banyak orang yang selalu rindu untuk pulang. Tapak demi tapak jadi benih yang perlahan ditahtakan berdekatan agar kelak saat tumbuh mereka tidak merasa sepi sendirian; atau kedinginan kala angin menyapa. Sepi hanya akan membunuh seseorang secara bertahap tanpa meninggalkan luka sebagai bekas.
Kadang dia berpikir bahwa ia sendiri yang melangkah di jalan yang tak berujung itu; ia bahkan tak menyadari sudah banyak orang yang telah mendahuluinya - kepalanya masih sibuk dengan khayal akan garis akhir yang nanti akan ia pijaki. Ia terus sibuk dengan percakapannya bersama diri sendiri; sesekali memeluk erat jiwanya sembari memberi semangat "beberapa meter lagi garis akhir akan dicapai". Lelahnya akan dibayar habis oleh peluk dan kecupan dari orang yang paling rutin ia doakan. Hingga ia lupa ada begitu banyak tapak yang ia tanam sia-sia. Tidak tumbuh sama sekali apalagi berbuah.
Terkadang orang di sekitarnya bertanya soal kemana tujuan ia melangkah atau dari mana ia berasal. Jejak kaki yang ia khianati jadi mimpi buruk yang selalu menghakiminya. Kini tersisah padanya hanya badan dengan lelah yang setia mendekap dan sisa-sisa mimpi yang sengaja ia benamkan bersama matahari dikala pulang ke peraduan. Hari-harinya menjadi kisah yang tak pernah sepi ia ceritakan; tentang bagaimana mencari dan mendapatkan bahagia. Bagaimana menabur benih harap tetapi yang dituai pada akhirnya hanya kenyataan yang sulit dirangkul. Keluhan seakan jadi litani yang terus ia daraskan; hingga puji-pujian seakan asing diucap oleh bibirnya.
Saat ia termenung sendiri; ia baru sadar bahwa perjalanan yang sebenarnya bukan soal esok hari dengan segala konsekuensi yang akan terjadi atau hari kemarin dengan penyesalan-penyesalannya. Tetapi perjalanan yang sesungguhnya adalah saat ia sadar bahwa ia tidak harus menangisi masa lalu dan merindukan masa depan; tetapi lebih dari itu ialah mensyukuri hari ini. Bahwa kehilangan orang yang disayang adalah bagian dari hidup. Jika hari ini orang lain masih bersama dengan orang atau sosok yang mereka sayang; maka percayalah bahwa sang waktu sedang menanti saat dimana orang itu kuat untuk ditinggalkan dan siap menikam rindu yang tak tentu di hatinya. Ingat kehidupan tidak harus ada apalagi abadi. Bahagiamu bersama sosok yang lain hanyalah saat-saat sementara yang sengaja dijelaskan dengan kesan-kesan emosional. Semuanya tidak lebih dari sekadar alasan untuk seseorang berucap kata rindu.
Hari ini ia menjadi guru atas dirinya sendiri. Bahwa menaburkan benih dan berharap akan tumbuh dan berbuah; tak semata bergantung pada tempat dimana benih itu jatuh, tetapi yang menjadi keutamaan adalah perasaan dari si penabur. Bisa saja benih yang ia taburkan pada tanah berbatu; atau semak duri akan lebih subur - walau di hatinya. Mustahil hanyalah cara berpikir orang yang tak ber-Tuhan. Percayalah jika benih yang ia ambil dari kantong jubahnya dan ia tabur di tanah itu sudah cukup jadi alasan untuk ia bahagia. Karena bahagia tidak harus menanti sampai kau menikmati hasilnya, cukup saat kau setia mencintai prosesnya. Semoga benih itu bisa berbuah pada bahagia yang amat ia rindukan; walau terkadang sengaja ia jatuhkan di tempat yang terkutuk; yaitu di hati sang kekasih.
Komentar
Posting Komentar