Perkara Pulang sebagai Doa
Perjalan sang lelaki kali ini cukup rumit. Memang benar bahwa bukan jalan yang membawa manusia sampai ke tujuan, melainkan sepasang kaki yang kuat. Perjalan sang lelaki kali ini adalah perjalanan untuk menemukan jalan pulang; ia kesulitan karena tapak-tapak yang pernah ia tinggalkan sebagai penanda untuk kembali pulang telah dihapus oleh hujan yang kecewa pada bumi. Merindukan kedatangannya tetapi tidak menghiraukan kepergiannya, bahkan tidak jarang mereka dibiarkan begitu saja menggenang pada tanah-tanah yang cepat bosan akan kesejukan. Keadilan di bumi sudah diatur sedemikian rupa, bahwa yang paling egoislah yang akan selalu jadi superior. Yang lemah tak akan lebih dari hujan, jatuh hanya untuk menyejukan bumi setelah itu dia akan menguap kembali jadi gumpalan awan yang sepi; yang kadang dibenci oleh orang-orang yang merindukan matahari.
Sang lelaki tetap teguh untuk terus menelusuri jalan-jalan yang dulu pernah membawanya menjumpai sang kekasih di dekat sumber mata air. Kendi yang dibawa bukan lagi berisi air, tapi rindu. Semoga kendi itu tak pecah sebelum tiba di istana, ia tak mau rindunya berserakan dan dihapus oleh hujan yang gusar. Tapi itu hanya doa di musim bahagia, pikir sang lelaki. Saat ini ia harus berpikir bagaimana mengenali jalan untuk pulang.
Tiap tapak terpaksa ia sentuh dengan hidung karena indera pengelihatannya tak dapat lagi diandalkan, berharap harum mimpi yang pernah ia rangkai dulu tertinggal pada ranting-ranting pohon, atau ingin yang hendak ia rapal membekas bak puing-puing yang jatuh di atas tumpukan dedaunan gugur di sepanjang jalan. Tapi tampaknya sia-sia. Sang lelaki akhirnya memutuskan untuk beristirahat sejenak, berharap peri mimpi datang dan menuntunnya ke jalan pulan. Perlahan ia memejamkan mata dan terlelap untuk beberapa saat. Akan tetapi tidak dengan isi kepalanya yang mulai ribut, kenangan manis berlarian di kepala, sesekali cita-cita yang pernah mereka rancang bersama menertawakan dia, dam peri mimpi mucul dengan bisikan lembut padanya: Pulanglah karena sebentar lagi hujan akan turun, bukan hanya kenangan di kepala yang akan dia hapus dari alam raya ini tetapi juga kamu. Setia itu luka; tapi kamu tak harus berdarah untuk bahagia. Pulang bukan hanya tentang rumah tapi seseorang dan seseorang itu adalah diri kamu sendiri.
Awan yang sepi kembali menjelma menjadi hujan dan menyadarkan sang lelaki; ia tak hanya terjaga dari tidurnya tapi juga angan untuk pulang. Akhirnya angannya berlahan terhapus oleh hujan; ia berharap angannya dibawa serta oleh hujan yang akan kembali menjelma menjadi tiang awan pada langit yang menjulang, sebagai isyarat bahwa rindu untuk pulang akan jadi doa yang lestari dan tak ada satu pun yang bisa menghapusnya; bahkan oleh hujan yang paling egois.
Komentar
Posting Komentar