MERETAS KOMUNIKASI SEBAGAI RUANG SIMBOLIK
Sebagai Basis Berpikir
Quod factum est, infactum fueri nequit. Sesungguhnya jika suatu peristiwa terjadi, maka tidak akan ada sesuatu yang dapat mengubahnya. Papatah latin ini bergerak dari kesadaran bahwasanya segala peristiwa yang baik dan jahat merupakan bagian dari sejarah hidup manusia. Realitas manusia tak terbatas pada kehadirannya sebagai subyek (persona), tetapi juga mencakup persoalan-persoalan (dinamika) sebagai peristiwa yang tidak bisa terelakan. Kompleksitas permasalahan yang muncul di masa postmodernisme, bukan hanya terkait persoalan filosofis, tetapi juga terelaborasi dengan masalah politik, sosial dan budaya, yang secara teoritis dan praktis mempengaruhi pola komunikatif suatu masyarakat madani (civil society).
Jurgen Habermans, sebagai salah seorang filsuf kontemporer yang sangat getol meneliti esensi masyarakat yang komunikatif serta ilmu-ilmu sosial masyarakat modern lainnya, berpendapat bahwa tema persoalan postmodernisme tidak hanya menjadi topik diskursus intelektual, tetapi juga tantangan (res) keprihatinan sosial untuk dirinya secara pribadi dan masyarakat pada umumnya (Hardiman, 2009:200). Upaya menciptakan masyarakat yang komunikatif senantiasa berbenturan dengan dinamika persoalan yang ada. Kesadaran ini harus membawa manusia pada pengertian yang menyatukan manusia dengan dunianya. Persoalan-persoalan tersebut perlu dilihat pertama-tama sebagai efek dari rapuhnya fondasi komunikasi antar sesama sebagai manusia. Oleh karenanya perlu adanya gerakan pembenahan yang radikal.
Namun terkadang upaya untuk mengatasi polemik atau persoalan di atas, seakan terpenjara dalam konsep atau gagasan utopia belaka. Konsekuensi logis dari gagasan utopia ini adalah kenyataan bahwa persoalan seperti intoleransi, radikalisme, diskriminasi serta isme-isme yang menciptakan situasi anomis lainnya menjadi tontonan masyarakat. Sejauh ini, tidak ada langkah konkret yang bersifat tepat guna sebagai jalan keluar (problem solving). Upaya komunikasi sebagai bentuk tanggap terhadap persoalan hanya hadir dalam ruang simbolik. Terjebak pada dunia simbolik yang menimbulkan representasi subyektif yang berbeda-beda dari masing-masing orang (Bucher, 2018: 352). Oleh karena itu, penulis mencoba menguraikan sebuah metode pendekataan yang lebih komunikatif sifatnya, antar sesama masyarakat sebagai pelaku utama sejarah. Sebagai bentuk pencegahan dini terhadap persoalan atau konflik sosial yang akan terjadi di tengah masyarakat.
Konflik Kepentingan Sebagai Akar Masalah
Perjumpaan antar sesama manusia dalam suatu tatanan hidup sudah tentu terpusat dalam ruang dan waktu. Realitas ini menjadi titik pembentuk kesadaran dalam diri seseorang untuk melihat dan merekunstruksi pilihan-pilihannya dalam bertindak. Hal ini berdampak langsung pada pola atau bentuk ekspresi seseorang terhadap pengatahuannya atas realitas dan pengatahuannya akan moralitas. Seseorang dengan tingkat pengatahuan yang memadai dapat diukur atau dinilai melalui caranya bersosialisasi dengan orang lain.
Namun terkadang, sesuatu hal yang tidak dapat dihindari adalah kenyataan bahwa dalam bersosialisasi, manusia seringkali tidak lepas dari sifat antisosial dan mendewakan sikap egoisme. Inilah yang menjadi akar dari konflik kepentingan. Konsep egois yang radikal sebagaimana kita ketahui melalui salah satu butir pemikiran Max Stirner, dapat dijadikan sebagai rujukan kala kita menguraikan terminalogi individu dan pilihannya. Persis seperti dogma Wile zur Macht milik Nietzche, Stirner juga menguraiakan basis pernyataan kehendak untuk berkuasa.
“Hanya saya sendiri yang menentukan apa yang menjadi hak saya dan bukan orang lain. Meskipun seluruh dunia menganggap sesuatu bukan hak saya, namun bila saya menganggap sesuatu itu hak saya maka saya akan mewujudkannya (Bertens, 2018:152)”. Pernyataan ini akan menjadi sangat kontroversi apabila diperhadapkan dengan tanggung jawab seorang individu untuk merealisasikan etika sosial dan etika individunya dalam konteks hidup bersama. Akan tetapi secara realistis pernyataan ini telah hidup dan berkembang dalam kehidupan manusia modern ini. Hingga tidak mengherankan bilamana konflik atau kesenjangan sosial menjadi konsumsi wajib di ruang publik
Terselimut dalam deretan-deretan fakta perihal dekradasi nilai dalam tatanan hidup global kendati pun kemajuan terpampang di depan mata. Eksploitas alam dan alienasi manusia. Kesenjangan sosial antara yang miskin dan kaya. Terorisme dan bangkitnya radikalisme agama. Sentralisasi diri dan lahir kelompok extrimis. Juga perpecahan dalam keluarga, pelecehan seksual, praktik aborsi, diskriminasi dan tindak kejahatan sosial lainnya, hadir sebagai konsekuensi logis dari egoisme radikal yang mendarah-daging dalam diri masing-masing orang.
Masalah dehumanisasi di atas, merupakan sederatan fakta yang mewakili begitu banyak persoalan yang ada di muka bumi ini. Pertama-tama persoalan ini tentu bertolak dari disposisi atau pernyataan sikap seseorang sebagai individu otonom dalam menyikapi suatu realitas. Pernyataan sikap tiap-tiap orang akan menjadi suatu kekuatan bila membentuk masa dengan pola pendekatan persamaan persepsi. Oleh karena itu, pendekatan personal guna meluruskan ideologi pemikiran seseorang sebagai individu perlu menjadi preferensi sebelum membangun kekuatan untuk menghadapi persoalan komunal atau kejahatan terorganisir lainnya.
Tanggung Jawab Prarefleksif
Sebagai upaya untuk mereduksi potensi terjadi sebuah persoalan atau masalah (malum) di atas, tentu perlu diperjuangkan langkah pencegahan sedini mungkin. Potensi terjadinya sebuah persoalan atau ketimpangan sosial, sekecil atau sebesar apapun, pada mulanya lahir dalam ide (ratio) seseorang. Kejahatan telah ada secara in potensia dalam pemikiran/naluri seseorang, jauh sebelum konflik atau kejahatan tersebut nampak secara fisik dan merugikan banyak orang. Sebagai bentuk kejelihan melihat persoalan ini, maka hemat penulis, perlu diusahakan metode pendekatan atau dialeg yang sifatnya personal; pendekatan yang intens antara sesama manusia.
Sebagai kumpulan persona, setiap orang dipanggil untuk bertanggung jawab membina relasi dan komunikasi dengan sesama. Tanggung jawab yang dibahas oleh penulis dalam tulisan ini ialah sebuah bentuk atau model tanggung jawab prareflektif. Sebagaimana Levinas menggambarkan bentuk tanggung jawab ini sebagai suatu panggilan moral manusia, yang dalam segala penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh sebuah impuls etis; oleh suatu rasa tanggung jawab terhadap sesama (Magnis, 2006:86). Keharusan untuk bersikap baik terhadap orang lain adalah evidensi intuitif tak terbantahkan yang harus selalu disadari secara langsung. Tanggung jawab prarefleksif berarti merasa bertanggung jawab dengan orang lain secara murnih/alami tanpa modus atau iming-iming serta pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Konsep pendekatan etis, berupa tanggung jawab prareflektif ini sekiranya menjadi metode pendekatan yang komunikatif, yang membantu menciptakan kultur persatuan dan kesatuan dalam hidup bersama. Levinas menegaskan bahwa pengetahuan memampukan manusia untuk membangun hubungan kedekatan, dengan mereduksi orang lain yang adalah sesama ke dalam dirinya (dalam Bahasa Levinas diterjemahkan ‘ke dalam tatanan Yang Sama’) (Levinas, 1984:12). Dengannya, perlu tindakan konkret untuk mengeluarkan/mengaktuskan konsep atau ide dalam kepala, ke dalam pola laku atau kebiasan hidup sehari-hari. Dengan melihat orang lain sebagai saya yang lain, sekiranya memampukan manusia unruk saling terbuka sabagai sikap menerima (recevoir) satu sama lain.
Metode pendekatan ini memungkinkan segala persoalan yang secara natural terbentuk dari dalam pikiran seseorang akan terkomunikasikan kepada subyek yang lain, sebelum timbul persoalan lanjutan. Aktivitas saling mendengarkan (resiprokal) menjadi modus eksistensial yang memaknai sosialitas manusia, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai seperti solidaritas, kepedulian, empati serta tanggung jawab. Ini pulalah yang membuat esensi sejarah sebagai bentuk penyebaran makna (Sihotang, 2018:200). Malalui tanggung jawab prareflektif, metode pemecahan masalah yang bersifat personal dari hati ke hati dapat terwujud. Saling memberi dan berbicara, menerima dan mendengarkan orang lain sebagai tindakan etis yang humanis.
Deep Dialogue Sebagai Pendekatan Solutif
Perlu menjadi suatu kesadaran dalam lapisan epistemik pemikiran manusia, bahwasanya apa pun persoalan atau konflik kepentingan yang ada di ruang public secara potensial sudah ada dan terjadi dalam pikiran (ratio) seseorang. Wacana tentang upaya untuk mengatasi persoalan dan konflik sosial yang ada baik dalam taraf nasional maupun nasional, harus bergerak dari pendekatan etis personal, dari individu ke individu. Sebab konflik yang ada selalu bergerak dari persoalan personal yang dialami oleh masing-masing orang atas dinamika kehidupan yang ia alami. Menjadi kewajiban untuk setiap manusia sebagai subyek menaruh perhatian atas keberadaan subyek yang lain.
Pendekatan etika tanggung jawab prareflektif sebagaimana diuraikan di atas sekiranya menjadi model pendekatan personal untuk meretas potensi konflik atau masalah yang masih terkonsep dalam pola pikir seseorang, sebelum konflik itu mencuat ke permukaan. Panggilan untuk menaruh perhatian antar sesama manusia memainkan peranan sentral dalam menciptakan ruang masyarakat yang komunikatif. Masyarakat saling terbuka mengutarakan isi hatinya, kegelisahan maupun kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Saling bertukar pikir guna mendapat jalan keluar atas persoalan yang ada. Timbul pengakuan yang secara tidak langsung memunculkan rasa toleransi dan persaudaraan antar sesama.
Pada akhirnya, Masyarakat yang komunikatif harus sampai membentuk sebuah dialog yang mendalam (deep dialogue), yang menjamin penghargaan atas sifat otonimi yang melakat dalam diri seseorang sebagai individu dan naluri seseorang sebagai makhluk sosial. Deep Dialogue yang merupakan bentuk dialog dimana seseorang berdiri perkasa pada jati diri sendiri dan pada saat yang bersamaan berusaha mentransformasi diri sendiri melalui tindakan membuka diri kepada mereka yang beda pemikirannya; menjadi goal target dalam membangun relasi. Dengan demikian, apabila tujuan ini tercapai maka dengan sendirinya komunikasi yang dibangun tidak lagi dilihat sebagai ruang simbolik semata, tetapi menjadi titik terang dalam upaya menciptakan manusia yang sungguh-sungguh manusia dan masyarakat yang komunikatif.
Sumber Pustaka:
Baghi, Felix, ALTERNITAS Pengakuan, Hospitalitas, Persahabatan, Maumere: Ledalero, 2012.
Bertens, K., Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2018
Bucher, Bernadette, Masa Strukturalisme Dan Untuk Antropologi Umum Yogyakarta: Kresi Wacana, 2018.
Levinas, Emanuel, Transcedance et intellegibilite, Geneve: Labor et Fides, 1984.
Magnis, Franz, Etika Abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Sihotang, Kasdin, Filsafat Manusia Jendela Menyingkap Humanisme, Yogyakarta: Kanisius, 2018
Komentar
Posting Komentar