De Te Fabula Narratur

____

Hati yang mencinta namun tengah tenggelam dalam kedukaan dan keputusasaan agaknya terlalu mudah dihadapkan pada benderang iman. Saat semua orang masih merasa perlu memejamkan mata, disodorkan ke sana sorotan tajam bernama hiburan iman dengan segala macam konsekuensi dan tawarannya yang menyilaukan. Berada pada banyak pilihan dan kemungkinan-kemungkinan. Saat manusia merasa ada sesuatu yang tidak beras di bumi, aku pun ikut berduyung-duyung bersama semua umat, menepi pada relasi vertikal dengan sosok yang sekiranya dapat menjelaskan kenapa manusia ada dan untuk apa. Tapi perjalanan ini tidak mudah.

* *

Aku memang terhitung sebagai satu dari sekian banyak hiruk pikuk di bumi. Suara Adzan dan dentingan  lonceng gereja yang meriuh rendah tak sedikit pun buat aku terkejud, bersujud sembah. Atau sedikit tidak, merasa bahwa aku hanya sebuah defenisi dari kerapuhan. Aku hanya asyik dengan duniaku. Menjejal tiap detik sambari menanti kapan semesta menghendaki aku untuk berhenti. Ibadahku adalah menertawakan manusia-manusia suci. Meraka terlihat seperti gerombolan domba yang digiring ke tempat yang mereka sebut tempat suci atau rumah Tuhan. Katanya mereka mencari keselamatan. Bagi aku keselamatan itu adalah ketika aku bahagia di bumi! Ini saja cukup.

Aku kecewa mendengar suara ustad yang berceramah dengan toa masjid yang menggelegar. Suaranya mengantar aku pada kenangan pahit. Saat Aminah anaknya aku pinang dan aku malah disuruh pulang. Katanya aku tak berpendidikan; tak bisa menafkahi anak solehnya.

“Mau beri makan apa anak saya kalau kamu tak berpendidikan seperti ini?” cacian yang teramat kotor dari mulut orang suci. Pikir ku saat itu.

Lantas apakah semua suami yang mampu menafkahi anak istrinya adalah mereka mengatongi ijazah serjana atau berpendidikan tinggi? Terkadang ketidakadilan jadi pamandangan sehari-hari. Bahkan orang yang katanya paling suci pun cakap berperan sebagai aktornya.  

Kemudian aku pun pernah ke bilik pastoran. Berhadapan dengan pastor yang punya banyak kharisma, aku sempat tertegun sesaat. Semu. Hampir tak terhitung oleh aku, kosa kata damai atau semacamnya terlempar dari mulut lalaki yang diberi title sang gembala itu. Aku disuruh rendah hati, sabar, tenang, berdoa dan lain-lain. 

“Membosankan” batinku.

“Mungkin kamu perlu pulang untuk merapikan dirimu yang berceceran. Biarkan kau berdamai duhulu dengan hatimu. Setelah itu datanglah; carilahTuhan dan berbicaralah denganNya”, kata sang pastor.

“Maaf bapak pastor hati saya terlalu keras untuk dilunakkan dengan kata-kata sucimu. Saya masih terlalu tuli untuk menerima penghiburan tentang Tuhan, tentang taman firdaus yang katanya dijanjikan terlebih-lebih untuk orang-orang seperti saya”.

Pikirku para pastor disekolahkan untuk ini. Menghipnotis umatnya dengan kisah taman firdaus dan surga yang rumit. 

“Nanti kamu akan mengerti anak muda”, timpalnya sambil tersenyum.

Saat itu aku masih terus sibuk dengan pencarianku. Aku masih tumbuh bersama suara adzan dan dentingan lonceng gereja di kampung halaman. Tapi rasanya masih sama. Sekali-kali aku tak tergugah sedikit pun. Tak sampai buatku ingin menjadi seperti segerombolan domba pencari keselamatan itu. Bagi aku  keselamatan tetap adalah bahagia semasa hidup. Dikala aku bebas dengan diriku. Menelanjanginya di depan umum dan pura-pura tak tahu. Saat itu aku ahlinya dalam pertunjukan menertawakan orang lain.

Saat ayah menyusul ibu ke surga atau mungkin juga di neraka aku masih saja menyela dengan keadaan. Saudara-saudara ku  menawari aku untuk tinggal bersama mereka. Aku diberi pilihan, tapi aku tak berpikir untuk memilih. Aku mau hidup sendiri. 

“Kenapa om tidak menangis? Apa om tidak takut dengan kematian?”, suara yang tiba-tiba menampar aku di tengah riuh suasana pemakaman ayah. Aku mencari sumber suara itu. 

“Silakan om, taburkan tanah ini ke kubur opa”, tawarnya sambil tersenyum.

Aku tak tau berkata apa. Tanganku gemetar menggengam tanah itu dan menaburkannya pada makam ayah. Kata-kata tadi terus mengiang di telinga ku. Apa aku tidak takut dengan kematian?

Sejak saat itu, aku mulai merasa ada yang aneh, tidak seperti biasanya. Seperti ada yang kosong di hidupku. Pencarianku berbuntut pada kebingungan. Keselamatan (dibaca bahagia) jadi sesuatu yang sulit untuk aku miliki. Aku seakan terkubur lama hingga lupa mana siang mana malam.

Suara adzan kemudian secara ajaib mengusik keributan di jiwaku, saat ragaku ditatakan pada sebuah penantian yang panjang. Lonceng gereja perlahan menjadi lantunan yang mulai membuat aku sadar bahwa aku tidak harus atau wajib ada; aku tidak harus hidup. Kemudian aku bertanya-tanya dimana Aminah? Bagaimana kabar pak ustad yang akhir-akhir ini tak terdengar suaranya di toa masjid? Apa kabar pastor gereja itu? dan bagaimana keadaan kubur ayah dan ibu? Terakhir, bagaimana kelak bila semesta memanggil aku pulang?

Perlahan aku mulai bergegas merapikan diriku yang berceceran di pinggir-pnggir jalan, kedai kopi, pada serpihan botol miras dan bordil di perkotaan. Mangajak damai diriku dan menuntunnya untuk kembali pulang. Tidak mudah. Bertahun-tahun aku berjuang mencari jalan masuk untuk kembali ke diriku. Sebuah perjalanan yang rumit kala harus kembali mencari kapan pertama kalinya kakiku berpijak pada kebaikan dan pada waktu yang sama ingatan untuk menolak lupa pada kenikmatan terus menantang. 

Hingga cukup berani aku kembali ke rumah bapak ustad, sayangnya aku hanya berjumpa dengan istrinya yang mulai menua. Bapak ustad telah tutup usia. Aminah anaknya telah menikah dengan pemuda di samping rumah. Aku hanya berjumpa dengan foto SMA yang terpampang di dinding rumahnya. Waktu itu dia sungguh-sungguh cantik saat aku memotretnya. Sungguh, kecantikan adalah tawaran yang bisu. Sang pastor yang sudah dipindahkan juga tak sempat aku jumpai. Sepasang kubur yang tampak sepi. Melambangkan sebuah cinta yang kering dan abadi.

Jawaban yang terkumpul seakan membantingku. Mungkin tidak pada lubang yang sama tapi pada lubang yang lain dengan kenikmatan yang setara. Berhadapan pada jalan dilematis antara pangilan untuk tetap pulang pada titik terang dan kembali pada pencarianku yang tanpa batas. Saat semua yang ingin aku temukan malah menjauh seakan tak merindukan kepulanganku. Sungguh jalan yang tidak mudah. 

* *

Kalau aku harus berbicara, aku sendiri seperti merasa tak pernah puas, sebab aku selalu berada jauh di belakang kata-kata itu. Pedas bibirku, karena telingaku tetap mengaum, menyimpan desahan derita dan jeritan sengsara, namun tak ada kata yang kutemukan. Kini aku hanya ingin menjadi manusia utuh. Membabtis diriku dengan sebuah pendirian yang mau tidak mau harus aku jalankan. Bertahan dengan puing-puing jiwa yang telah susah payah disatukan dan memeluknya agar tak lekas terhempas. Suara adzan dan dentingan lonceng gereja kini seakan buat ku sadar bahwa panggilan untuk pulang selalu ada. Selesai!

ket:

[Kisah yang diceritakan adalah tentang dirimu (aku)/de te fabula narratur; tentang sebuah pencarian menuju keselamatan bersama tawaran untuk selalu mengusikmu pergi dari dirimu sendiri. Karena hidup adalah barisan kemungkinan-kemungkinan. Jika kamu tidak bisa bertahan untuk barakhlak mulia maka hal sebaliknya akan terjadi. Godaan selalu ada tapi pengharapan untuk tetap baik adalah abadi]




 

Komentar

  1. Dentingan lonceng gereja kini seakan buat ku sadar bahwa panggilan untuk pulang selalu ada! #You are my Home

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

AURELIUS

HUKUMAN ADALAH HAK MANUSIA

Pesawat Terbang dan Kebun Tomat